Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (3-Habis)
Rumah Utama untuk Delapan Keluarga Keturunan Maro
Selasa, 18 September 2012 – 00:08 WIB

WARGA TERTUA: Isidorus Ingkul, warga tertua sekaligus tetua adat Wae Rebo. Foto : Doan W/Jawa Pos
"Come in, please. Artinya, silakan masuk. Kalau silakan duduk, itu take me please!" ujarnya, yakin.
Alih-alih tertawa, saya memilih membetulkan ucapan Roman bahwa silakan duduk itu sit down, please. Atau, take a sit, please. "Kalau take me, please, itu artinya silakan bawa saya. Itu Anda ucapkan kalau ada turis cantik saja," gurau saya. Kali ini Roman menepuk jidatnya sambil meledakkan tawa.
Sabtu siang itu (8/9) saya tinggalkan Wae Rebo apa adanya seperti masa lalunya. Saya hanya membawa sejumput bahan tulisan dan puluhan frame foto. Saya hanya tinggalkan secuil kenangan di desa yang memang layak mendapat penghargaan itu. Sedangkan, Roman, kawan saya, membawa sejumlah kosa kata bahasa Inggris baru yang terus dia hafalkan sepanjang perjalanan menuju Denge".(*/c4/ari)
Mbaru niang di Wae Rebo memang layak mendapat penghargaan. Kampung mini di Manggarai, NTT, tersebut tak hanya berhasil melestarikan rumah-rumah kerucut
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
BERITA TERKAIT
- Musala Al-Kautsar di Tepi Musi, Destinasi Wisata Religi Warisan Keturunan Wali
- Saat Hati Bhayangkara Sentuh Kalbu Yatim Piatu di Indragiri Hulu
- Kontroversi Rencana Penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer, Apresiasi Terhalang Stigma Kiri
- Kisah Jenderal Gondrong ke Iran demi Berantas Narkoba, Dijaga Ketat di Depan Kamar Hotel
- Petani Muda Al Fansuri Menuangkan Keresahan Melalui Buku Berjudul Agrikultur Progresif
- Setahun Badan Karantina Indonesia, Bayi yang Bertekad Meraksasa demi Menjaga Pertahanan Negara