Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (3-Habis)

Rumah Utama untuk Delapan Keluarga Keturunan Maro

Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (3-Habis)
WARGA TERTUA: Isidorus Ingkul, warga tertua sekaligus tetua adat Wae Rebo. Foto : Doan W/Jawa Pos
 

Mbaru niang (rumah kerucut) Wae Rebo berjumlah tujuh. Yang di tengah, di ujung paling timur, adalah mbaru tembong atau rumah utama. Mbaru gena alias rumah biasa berada di samping-sampingnya. Tiga di kiri dan tiga di kanan. Kalau rumah utama bertinggi 15 meter dengan diameter 15 meter, rumah yang lain setinggi 11 meter dengan diameter juga 11 meter.

 

Rumah-rumah itu berbaris menghadap sompang (altar) setinggi sekitar 1 meter. Sompang adalah gundukan tanah berbentuk bundar berdinding batu. Di mezbah itulah warga Wae Rebo menyelenggarakan upacara-upacara adat dan aneka persembahan kepada Tuhan dan leluhur.

 

Mbaru niang sejatinya nyaris punah. Pada 2008, hanya tersisa empat rumah. Yaitu, mbaru tembong, satu rumah di sisi kiri, dan dua rumah di sisi kanan. Tiga lainnya sudah lenyap digerus umur. Rumah yang tersisa pun seolah menunggu rubuh.

 

Sejumlah kalangan swasta yang peduli kepada arsitektur dan budaya lokal lalu bergerak. Yang menggagas pemugaran adalah Yayasan Rumah Asuh yang dimotori Yori Antar, arsitek di Jakarta. Yori mengumpulkan donatur untuk membangun kembali tiga rumah yang sudah lenyap dan memperbaiki rumah yang lain.

Mbaru niang di Wae Rebo memang layak mendapat penghargaan. Kampung mini di Manggarai, NTT, tersebut tak hanya berhasil melestarikan rumah-rumah kerucut

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News