Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (3-Habis)

Rumah Utama untuk Delapan Keluarga Keturunan Maro

Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (3-Habis)
WARGA TERTUA: Isidorus Ingkul, warga tertua sekaligus tetua adat Wae Rebo. Foto : Doan W/Jawa Pos
 

Maklum, dana untuk membangun satu mbaru niang tidak murah. "Pada 1997, pemda merenovasi mbaru tembong. Biayanya Rp 30 juta," kata Blasius Monta, warga Wae Rebo yang juga guru SD Denge.

 

Saat pembangunan kembali dilakukan pada 2011, biaya untuk satu rumah mencapai Rp 300-an juta. Tapi, dana itu akhirnya bisa ditutup para donatur yang peduli. Blasius mencatat, rumah-rumah itu didanai Yayasan Tirto Utomo, pengusaha Arifin Panigoro, dan Laksamana Sukardi. Yori Antar yang arsitek bertugas memimpin pembangunan sekaligus mendokumentasikan proyek menghidupkan kembali budaya arsitektur yang nyaris lenyap tersebut.

 

Maka, warga Wae Rebo pun rawe-rawe rantas ikut membangun rumah adat mereka. Warga benar-benar menggunakan tata tradisional sebagaimana nenek moyang mereka membangun mbaru niang ratusan tahun silam. "Membangunnya hanya satu bulan. Tapi, kumpul-kumpul bahan itu yang sampai enam bulan," ujar Blasius.

 

Mbaru niang punya satu tiang utama yang menjulang tinggi hingga menembus atap. Tiang dari kayu Worok itu disebut ngando. Sedangkan rangka topi kerucutnya dibuat dari bambu. Tak ada secuil pun paku yang dipakai. Untuk menyatukan bambu dan kayu, warga menggunakan tali dari rotan.

Mbaru niang di Wae Rebo memang layak mendapat penghargaan. Kampung mini di Manggarai, NTT, tersebut tak hanya berhasil melestarikan rumah-rumah kerucut

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News