Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (3-Habis)

Rumah Utama untuk Delapan Keluarga Keturunan Maro

Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (3-Habis)
WARGA TERTUA: Isidorus Ingkul, warga tertua sekaligus tetua adat Wae Rebo. Foto : Doan W/Jawa Pos

Tamu menginap di Wae Rebo harus membayar Rp 225 ribu per malam (sudah termasuk tiga kali makan). Yang tidak menginap cukup mengeluarkan Rp 100 ribu. Kalau ingin menyaksikan kesenian mbata, semacam pantun nasihat yang dilagukan saat malam, tamu juga harus membayar Rp 200 ribu per penampilan.

 

"Ini untuk kas LPW. Juga untuk menjaga kelestarian rumah-rumah di sini," ungkap Vitalis.

 

Warga berupaya semaksimal mungkin mempertahankan keaslian rumah dan budaya mereka. Meski sudah memakai listrik dari generator, televisi masih dilarang. "Tapi, radio boleh," kata Romanus Monda, warga Wae Rebo yang menyertai saya dalam perjalanan pergi-pulang Wae Rebo"Denge.

 

Dalam perjalanan pulang menuju Denge, perjalanan yang jauh lebih menyenangkan ketimbang saat berangkat. Roman "sapaan Romanus" banyak bercerita tentang keunikan warga Wae Rebo. Kata dia, Wae Rebo adalah milik seluruh warga keturunan Wae Rebo. Mereka boleh tinggal di mbaru niang.

Mbaru niang di Wae Rebo memang layak mendapat penghargaan. Kampung mini di Manggarai, NTT, tersebut tak hanya berhasil melestarikan rumah-rumah kerucut

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News