Menyusuri Kampung Bersejarah China Benteng

Dupa di Teras Rumah, Kertas Mantra Menempel di Pintu

Menyusuri Kampung Bersejarah China Benteng
Lim Tjin Siu dan keluarganya, warga China Benteng, Tangerang yang terancam digusur. Foto : Thomas Kukuh/JAWA POS
Sedangkan golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18. Mereka mendapatkan restu dan perbekalan dari kaisar Tiongkok. Saat migrasi itu, mereka berjanji tetap loyal kepada Tiongkok dan kaisar Dinasti Qing. Mereka datang dengan kapal dagang Belanda.

   

Kebanyakan warga Chinben saat ini adalah keturunan golongan pertama. Mereka sudah berasimilasi dengan budaya pribumi, yakni Sunda dan Betawi.

   

Warga Chinben, umumnya merupakan keturunan dari pernikahan campuran. Hasilnya, penduduk Chinben sekarang nyaris tidak tampak seperti warga Tionghoa pada umumnya. Kulit mereka sedikit lebih gelap. Mereka juga bermata lebar. Meski banyak yang memasang atribut khas Tionghoa, mereka terkadang tidak tahu dengan pasti fungsinya. Dari segi bahasa pun, tidak ada yang bisa menggunakan bahasa nenek moyang mereka. Bahkan, Edi menyatakan sama sekali tidak bisa berbahasa Mandarin. "Ngomongnya gimana, saya tidak tahu," ucapnya lantas tertawa.

   

Bertahun-tahun berakulturasi dengan lingkungan setempat, warga Chinben justru lebih akrab dengan bahasa Indonesia. Bahkan, logat mereka sangat kental akan dialek Sunda. Edi menjelaskan, Chinben saat ini dihuni warga dengan berbagai latar belakang. Selain keturunan Tionghoa, ada warga asal Jawa, Batak, dan Sunda. Bahkan, semua penganut agama ada di kampung tersebut. "Tapi, semua hidup rukun. Kini kami sama-sama berjuang untuk kasus itu," ujarnya.

   

Kampung China Benteng tampak seperti museum hidup di Kota Tangerang. Kampung itu ada sejak ratusan tahun lalu. Masyarakatnya menghuni kawasan di

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News