Menyusuri Kampung Bersejarah China Benteng
Dupa di Teras Rumah, Kertas Mantra Menempel di Pintu
Senin, 19 April 2010 – 06:34 WIB
Meski termasuk keturunan Tionghoa yang sudah lanjut, dia menuturkan tidak bisa berbahasa Mandarin. Selain itu, dia sudah jarang melaksanakan tradisi warga Tionghoa. Dia secara rutin hanya menjalankan ibadah sesuai dengan agama Konghucu.
Ong dan Wie ternyata tidak mengetahui bahwa rumah mereka menjadi target penggusuran. Mereka hanya mendengar kabar soal rencana pengusuran itu, tetapi mengganggap rumah mereka aman. "Kan yang digusur kampung sebelah. Kasihan ya mereka," ujar Wie sambil menatap ke luar jendela.
Lain halnya dengan Lim Tjin Siu. Pria 83 tahun yang rumahnya berjarak sekitar 500 meter dari rumah Ong tersebut menyadari bahwa rumahnya menjadi target penggusuran. Meski sudah uzur, pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pengumpul kardus bekas itu pasang kuda-kuda untuk mempertahankan rumahnya.
"Kalau mau digusur, saya minta ganti rugi. Kalau tidak, lebih baik saya ditembak mati daripada disuruh pindah," ucap pria yang tinggal di bantaran sungai sejak 1959 tersebut berapi-api. "Meski saya sudah tua, jangan remehkan," lanjutnya.
Kampung China Benteng tampak seperti museum hidup di Kota Tangerang. Kampung itu ada sejak ratusan tahun lalu. Masyarakatnya menghuni kawasan di
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408