Meri Tabuni, Orang Suku Dani Pertama yang Menjadi 'Dokter'
Resep Obat Dihafalkan, Digaji Ubi dan Sayuran
Kamis, 01 November 2012 – 22:33 WIB
Ketika jalan sudah baik dan mulus saja dibutuhkan waktu 2,5 jam naik mobil untuk menuju Wamena. "Saya tidak bisa membayangkan, dulu berapa lama perjalanan yang ditempuh nenek dari Tagime ke Wamena," ujarnya.
Setelah mengabdi tanpa pamrih selama 27 tahun, Meri akhirnya diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pada 1987. Dia pensiun pada 2009. Pada akhir masa pengabdiannya sebagai pegawai pemerintah, Meri sudah tidak buta huruf. Menurut Dolly, neneknya sudah bisa membaca dan menulis, meski tidak selihai dirinya.
Walaupun sudah pensiun dan usianya sudah lanjut, Meri ternyata belum mau berhenti mengabdikan tenaganya untuk masyarakat. Di rumahnya, dia sampai sekarang tetap melayani konsultasi KB dan memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di desanya. Penyuluhan dilakukan di sela-sela aktivitas keagamaan di gereja. Materi penyuluhan yang gencar dikampanyekan, antara lain, bahaya HIV/AIDS.
Selama puluhan tahun menjadi tenaga medis di desa terpencil Jayawijaya, Meri mempunyai banyak kenangan tak terlupakan. Kenangan manis maupun pahit itu sering diceritakan kepada anak cucunya sampai sekarang. Salah satunya, saat terjadi konflik di Jayawijaya pada akhir 1970-an.
Menurut cerita Meri, saat Jayawijaya dilanda konflik antara separatis Papua Merdeka dan pasukan TNI, hampir seluruh penduduk menyelamatkan diri masuk hutan. Hanya orang-orang tertentu yang tidak mengungsi.
"Termasuk keluarga saya. Sebab, saya harus berjaga-jaga kalau ada warga yang terluka," katanya.
Dia pun ikut memobilisasi warga yang mengungsi di hutan untuk kembali ke rumah masing-masing begitu perang usai. Nah, saat itulah diketahui banyak warga yang terkena malaria. Meri pun menjadi orang yang sangat sibuk menangani pasien yang kondisinya memprihatinkan. "Ilmu yang saya peroleh dari para misionaris betul-betul membantu saya menangani para pasien itu," tutur Meri.
Setelah mengabdi tanpa pamrih selama 27 tahun, Meri akhirnya diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pada 1987. Dia pensiun pada 2009. Pada akhir masa pengabdiannya sebagai pegawai pemerintah, Meri sudah tidak buta huruf. Menurut Dolly, neneknya sudah bisa membaca dan menulis, meski tidak selihai dirinya.
Walaupun sudah pensiun dan usianya sudah lanjut, Meri ternyata belum mau berhenti mengabdikan tenaganya untuk masyarakat. Di rumahnya, dia sampai sekarang tetap melayani konsultasi KB dan memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di desanya. Penyuluhan dilakukan di sela-sela aktivitas keagamaan di gereja. Materi penyuluhan yang gencar dikampanyekan, antara lain, bahaya HIV/AIDS.
Kini kiprah Meri dilanjutkan cucunya, Dolly, yang menjadi tenaga medis di puskesmas pembantu yang dulu menjadi tempat bekerja Meri. Dia dibantu tiga perawat. "Tapi, puskesmas kami belum ada dokternya," ujar Dolly. (*/c5/ari)
Suku Dani di lembah Jayawijaya, Papua, harus bangga punya pahlawan seperti Meri Tabuni. Berkat ketekunan dan keuletan dia, kesehatan masyarakat di pedalaman itu terjaga.
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
BERITA TERKAIT
- Program Sarapan Sehat Bergizi tak Hanya untuk Anak Didik, Tetapi juga Menyasar Para Guru
- Yohannis Manansang Berencana Bangun Rumah Sakit Internasional di Sentani
- Mantan Bupati Ini Ditangkap Polisi terkait Pencabulan Anak
- Jelang Natal & Tahun Baru, Senator Manaray Bersama Kemenhub Sepakat Awasi Harga Tiket ke Papua
- Dukung Penuh Pengamanan Pilkada di Puncak, Tim Asistensi Operasi Damai Cartenz 2024 Turun Gunung
- Khusus Calon PPPK, Ini Info Terkini dari Bu Ani