Migrants Day 2024, Menakar Urgensi Pendidikan Tinggi bagi Pekerja Migran Indonesia
Oleh Dr. Pardamean Daulay, S.Sos.,M.Si*
jpnn.com, JAKARTA - RABU ini, 18 Desember 2024, merupakan momen peringatan Hari Buruh Migran Internasional atau yang lebih dikenal Migrants Day. Momen ini memberi kita kesempatan khusus untuk mengangkat kontribusi tak ternilai dari jutaan buruh migran di seluruh dunia, tak terkecuali pekerja migran Indonesia (PMI) di berbagai negara.
Dalam denyut globalisasi yang tunggang-langgang, migrasi internasional telah merebak dalam kehidupan masyarakat dunia, tak terkecuali di Indonesia. Data The International Organization for Migration (IOM) menyatakan pada 2020 populasi orang yang bermigrasi dari negara asal ke negara lain mencapai 272 juta orang, termasuk 75 juta di antaranya menetap di Asia.
Indonesia termasuk salah satu negara terbesar dalam hal pengekspor buruh migran di dunia. Hasil survei World Bank dan Badan Pusat Statistik memperkirakan PMI di mancanegara mencapai 9 juta orang, angka yang cukup signifikan untuk memberikan banyak kontribusi bagi pendapatan negara.
Adapun data Bank Indonesia (BI) —paralel dengan catatan rilisan Migrant Care— menunjukkan kiriman remitansi dari PMI di berbagai negara ke Indonesia pada 2019 mencapai Rp 169 triliun. Jumlah itu setara dengan 10 persen dari target pendapatan negara sebesar Rp 1.699,9 triliun dalam APBN 2020.
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengeklaim pendapatan dari remitansi PMI merupakan penyumbang terbesar kedua bagi APBN setelah sektor migas. Namun, kontribusi yang signifikan itu belum dibarengi upaya perlindungan dan pengembangan kapabilitas PMI.
Nyatanya, PMI masih dipandang sebagai objek, bukan subjek yang menjadi mitra pemerintah dalam mendulang devisa negara.
Aktualisasi PMI
Pengembangan kualitas dan kapabilitas PMI merupakan hal penting dan genting karena kualifikasi pendidikan para buruh migran yang masih rendah. Menurut data BP2MI pada bulan November 2019, sebanyak 68 persen PMI adalah lulusan SD dan SMP.
Tak ayal, mayoritas PMI ditempatkan pada sektor pekerjaan 3D (dirty, demeaning, and dangerous). Gaji yang mereka terima pun jauh lebih rendah dari pekerja lokal di masing-masing negara penempatan.
Selama ini, wacana pengembangan kualitas PMI acap kali diasosiasikan dengan usaha menyiapkan ‘tenaga kerja siap pakai’ bagi pasar ketenagakerjaan. Secara filosofis, pola pengembangan semacam ini sesungguhnya merupakan penyempitan dari konsepsi luhur pembangunan sumber daya manusia.
Amartya Sen, ekonomi peraih Nobel Ekonomi pada 1998, menyatakan bahwa fundamen pembangunan kualitas manusia ialah peningkatan kualitas hidup yang pilar utamanya adalah pengembangan kapabilitas. Sen mendefinisikan kapabilitas sebagai ‘kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan bernilai atau meraih kondisi keadaan yang bernilai’.
Mayoritas pekerja migran Indonesia ditempatkan di sektor pekerjaan dirty, demeaning, and dangerous. Gaji mereka pun jauh lebih rendah dari pekerja lokal.
- Lewat Program ini PMI di Singapura Dipersiapkan Agar Punya Masa Depan Lebih Cerah
- Perdana, Universitas Terbuka Gelar Wisuda Langsung dari Jepang
- Terungkap! WNI Jadi Korban Kerja Paksa dan Eksploitasi Finansial di Kapal Taiwan
- Menteri Karding Sebut Pemerintah Desa Berperan Kunci Terkait Pelindungan Pekerja Migran
- Dorong Inovasi dan Kolaborasi, Pascasarjana UT Gelar FUSION 2024
- Mendagri Tito Karnavian Teken MoU dan SEB untuk Melindungi Pekerja Migran, Ini Isinya