Migrants Day 2024, Menakar Urgensi Pendidikan Tinggi bagi Pekerja Migran Indonesia

Oleh Dr. Pardamean Daulay, S.Sos.,M.Si*

Migrants Day 2024, Menakar Urgensi Pendidikan Tinggi bagi Pekerja Migran Indonesia
Ilustrasi potret wajah penulis. Ilustrator: Sultan Amanda

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya menyebutkan salah satu hak pekerja migran adalah hak untuk berekspresi (mengembangkan diri) dan akses terhadap pendidikan.

Diakui atau tidak, kenaikan taraf pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, menjadi salah satu upaya pemberdayaan bagi PMI karena mereka dapat lebih memiliki kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang berkembang dinamis sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
 
Upaya itu terbuka lebar melalui layanan pendidikan tinggi jarak jauh sebagaimana dikonsepkan oleh Universitas Terbuka (UT). Sebagai perguruan tinggi negeri (PTN), UT telah berupaya membuka kesempatan untuk kuliah bagi siapa saja dengan mengedepankan inklusivitas yang bisa diakses siapa pun tanpa memandang derajat, status sosial, usia, dan jenis kelamin.

Iknlusivitas itu sesuai dengan konsep dan makna kata ‘terbuka’ pada nama Universitas Terbuka. UT dihadirkan untuk menawarkan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang inklusif.

Ketika perguruan tinggi lain berlomba untuk menyeleksi calon mahasiswa dengan persyaratan akademik dan nonakademik yang rumit dan berbelit-belit, UT hadir dengan mengusung slogan ‘Making Higher Education Open to All’. Ketika anak-anak lulusan SMA/SMK sederajat menghadapi kegamangan atas pilihan antara bekerja atau berkuliah, UT menyajikan solusi moderat dengan menawarkan opsi bekerja sambil kuliah maupun sebaliknya.
 
Sebagai pionir perkuliahan jarak jauh dengan mode dalam jaringan (daring), UT kini menjadi kiblat penyelenggaraan kuliah online di Indonesia. UT telah mendiseminasikan kerangka berpikir ilmiah kepada mahasiswanya, bahwa dengan teknologi -demikian Bill Gates menyebutkan- “satu jari dapat membuat mahasiswa belajar di mana saja dan kapan saja” baik di dalam maupun di luar negeri.
 
Daya jangkau UT yang luas bisa dicapai berkat adanya 39 kantor UT Daerah sehingga mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia, bahkan sampai di daerah terluar. UT juga telah melebarkan sayap penyediaan layanan pendidikan jarak jauh ke berbagai negara di dunia, khususnya negara tujuan penempatan PMI, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan (Korsel), Saudi Arabia, dan Jepang.

Layanan UT di luar negeri makin masif sejak diresmikannya keberadaan Universitas Terbuka Layanan Luar Negeri (UT LLN). Saat ini, UT LLN telah menyediakan layanan pendidikan di 56 Negara dan 90 kota.

Jumlah mahasiswa UT yang berada di luar negeri mencapai 6.527 orang. Dari jumlah itu, 99 persen di antara mereka mereka mengikuti kuliah sambil bekerja.
 
Melakoni aktivitas bekerja sambil kuliah memang bukanlah perkara mudah karena butuh daya juang tinggi dan kemandirian membagi waktu maupun tenaga. Ketika di awal masuk kuliah di UT, mahasiswa mungkin sempat berpikir apakah seorang PMI dengan segala keterbatasan waktu, suka dan duka tinggal di negara orang dapat menyelesaikan kuliah sambil bekerja.

Namun juga bukan hal yang mustahil seorang PMI dapat menyelesaikan kuliah hingga meraih gelar sarjana. Setidaknya 41 orang PMI di Jepang telah mnorehkan prestasi dengan berhasil lulus dan meraih gelar sarjana hingga mengikuti acara wisuda secara tatap muka di Balai Indonesia KBRI Tokyo pada 8 Desember 2024 lalu.
 
Jika bukan karena UT, belum tentu Pak Suma yang dulu seorang PMI di Taiwan dan tercatat sebagai alumni Program Studi S-1 Manajemen UT, mendapat kesempatan meraih gelar sarjana manajemen. Beruntungnya lagi, setelah lulus dari UT, Pak Suma memutuskan kembali ke kampung halamannya.

Berkat ilmu dan gelar sarjana yang diperolehnya, Pak Suma terpilih menjadi kepala Desa Sende di Kecamatan Arjowinangun, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. 

Mayoritas pekerja migran Indonesia ditempatkan di sektor pekerjaan dirty, demeaning, and dangerous. Gaji mereka pun jauh lebih rendah dari pekerja lokal.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News