Mimpi Istri Kandas di Tawau
Oleh Dahlan Iskan
jpnn.com - Di bandara ini ada dua koridor: untuk yang berpaspor Indonesia dan yang berpaspor Malaysia. Suami-istri itu harus di jalur yang terpisah.
Mereka punya anak kembar. Umur 1 tahunan. Belum bisa jalan sendiri. Masih harus digendong. Belum tahu arti paspor.
Orang tuanya tidak bingung. Yang suami memilih di antrean Indonesia. Istrinya di antrean Malaysia. Masing-masing menggendong satu anak.
Itulah suasana di terminal kedatangan Bandara Tarakan. Yang sekarang berstatus bandara internasional. Meski rumput di tamannya tetap rumput lokal: yang sulit diatur, tidak dirapikan dan terlihat kotor. Seperti kompak dengan Tawau: dalam ketidakrapian.
Status bandara internasional Tarakan didapat karena: ada satu penerbangan dari Tawau itu. Yang setengah jam kemudian kembali ke Tawau itu. Seminggu tiga kali. Senin-Kamis-Sabtu.
Jarak terbangnya 45 menit. Dengan pesawat ATR. Milik anak perusahaan Malaysia Airlines: Mas Wing. Yang berbaling dua itu.
Hari itu saya kembali ke Indonesia. Lewat jalur ini. Berangkatnya dulu saya dari Surabaya. Ke Jogja. Lalu Jakarta. Palembang. Kuala Lumpur. Kota Kinabalu. Tawau. Terakhir Tarakan, Tanjung Selor, Berau dan Balikpapan.
Pesawat Tawau-Tarakan itu hampir penuh. Kapasitasnya 70 orang. Saya sulit menduga. Berapa yang WNI dan berapa yang WN Malaysia. Raut wajahnya sulit dibedakan. Penumpang Tionghoa-nya pun sulit saya tebak: Tionghoa Tawau atau Tionghoa Tarakan.