Minyak Belut

Oleh: Dahlan Iskan

Minyak Belut
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Yang premium pun disubsidi. Jumlah subsidinya mencapai Rp 7 triliun.

Bagi konsumen ini lebih bagus. Tapi bagi pabrik minyak goreng bertambah ruwet. Terutama pabrik minyak goreng yang tidak punya kebun sawit.

Mereka harus mengurus jatah DMO dan DPO (Domestic Market Obligation dan Domestik Price Obligation). Berarti harus mengurus jatah itu sampai Kementerian Perdagangan.

Akibatnya fatal: produksi minyak goreng terganggu. Harga minyak goreng memang menjadi lebih murah. Tapi barangnya mulai hilang dari pasaran.

Maka aturan itu diubah lagi. Seperti yang berlaku sekarang ini: tidak ada harga eceran tertinggi.

Harga minyak goreng kemasan premium dan sederhana dilepas. Silakan ikut saja dengan harga pasar. Hanya harga minyak goreng curah yang ditetapkan paling tinggi Rp 14.000/liter.

Akhirnya minyak goreng seperti didorong untuk menerima harga pasar bebas. Tanpa takut  disalahkan sebagai penganut ekonomi liberal. Buktinya ada harga yang curah yang disubsidi.

Kelak tentu akan muncul atau dimunculkan citra negatif minyak curah. Misalnya: diragukan lagi keasliannya. Atau: sudah dicampuri cairan lain.

Soal minyak goreng. Sungguh menarik mengamati taktik pemerintah membawa masyarakat ke harga pasar –tanpa demo dan gejolak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News