Money Politics: Tilang Saja
Sabtu, 31 Juli 2010 – 01:10 WIB
Syahdan, UU membatasi kewenangan MK hanya soal hasil akhir penghitungan suara saja. Namun, dalam kasus Kobar ternyata merembes ke kasus money politics. Di sinilah repotnya. Selain mendasarkan pada alat bukti, hakim juga menggunakan "keyakinan hakim" dalam memutus perkara. Konon, begitulah doktrin hakim di seluruh dunia yang juga dianut oleh hakim MK.
Tetapi mengapa keyakinan hakim itu tak diberlakukan untuk kasus Madina? Bahkan, dalam kasus Pilkada Medan juga terbukti bahwa pasangan Rahudman-Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti melakukan kecurangan. Mengapa pasangan Rahudman tetap dinyatakan sebagai pemenang?
Alasannya, barangkali, karena dalam kasus Medan tak terbuktikan bahwa politik uang itu telah mempengaruhi hasil akhir perolehan suara. Artinya, suara Rahudman-Eldin tetap lebih besar sehingga ditentukan sebagai pemenang.
Lagi pula jika kedua pasangan itu dibatalkan, harus dilakukan Pilkada ulang, dan dengan demikian untuk ketiga kalinya. Mungkin, dianggap Pilkada ronde ketiga itu tidak efisien dan mubazir. Artinya, petimbangannya bukan beralasan hukum, melainkan alasan politik dan anggaran. Nah, ini lagi-lagi sebuah inkonsistensi.