Moratorium Sawit Hasilkan Kontribusi Ekonomi Rp 28,9 Triliun Pada 2045

Moratorium Sawit Hasilkan Kontribusi Ekonomi Rp 28,9 Triliun Pada 2045
Instruksi Presiden Prabowo Subianto tentang perluasan kebun sawit dengan pembukaan lahan baru demi bioenergi sangat berisiko. Foto Ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Instruksi Presiden Prabowo Subianto tentang perluasan kebun sawit dengan pembukaan lahan baru demi bioenergi dinilai sangat berisiko.

Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menilai kebijakan dari Prabowo membuat negara importir menambah berbagai hambatan dagang baik tarif maupun non-tarif.

Bhima menyebut hal itu membuat seolah pemerintah mendukung perluasan kebun sawit meski ada risiko deforestasi.

“Saya kira itu blunder sekali. Apalagi era perang dagang, sawit Indonesia rentan jadi sasaran proteksionisme negara maju. Justru dengan adanya EUDR yang harus dipastikan itu kebun sawit nya tidak bertambah luas tapi tambah produktif. Jika masalah pak Prabowo ini soal produksi sawit, maka jawabannya bukan dengan perluasan kebun sawit baru atau ekstensifikasi lahan,” kata Bhima dalam keterangan tertulis Senin (13/1).

Bhima menjelaskan bahwa masalah yang ada selama ini adalah produktivitas per lahan sawit yang rendah.

Sawit di Indonesia secara rata rata hanya hasilkan 12,8 ton per hektar untuk tandan buah segar. Sementara di Malaysia bisa capai 19 ton per hektar tandan buah segar.

Oleh karena itu, solusinya intensifikasi lahan, masalah teknologi pertania nya, pembibitan, sampai pupuk. Berdasarkan perhitungan Celios, moratorium perluasan kebun sawit punya banyak manfaat.

Bhima menjelaskan dampak implementasi kebijakan moratorium sawit ditambah skema replanting dinilai mampu menciptakan kontribusi ekonomi pada 2045.

Instruksi Presiden Prabowo Subianto tentang perluasan kebun sawit dengan pembukaan lahan baru demi bioenergi sangat berisiko.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News