Motif Pemekaran Wilayah Kental Nuansa Politik

Motif Pemekaran Wilayah Kental Nuansa Politik
Motif Pemekaran Wilayah Kental Nuansa Politik
Menurut Aziz yang juga mantan Bupati Lima Puluh Kota di Sumbar itu, dari awal sesungguhnya banyak daerah pemekaran yang jika dilihat dari aspek teknis tidak memenuhi persyaratan dasar sebagai daerah otonomi. "Tapi, karena begitu besarnya tekanan politis, maka pemekaran tersebut bisa terwujud," imbuhnya.

Aziz juga membeberkan analisis Litbang Kompas tahun 2008, yang dilakukan terhadap daerah-daerah hasil pemekaran untuk mengukur sejauh mana percepatan pembangunan daerah pemekaran dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun pertama pasca-pemekaran, terhadap 179 kabupaten/kota daerah otonom baru. "Temuan mereka adalah, hampir separuhnya justru mengalami kemunduran," tuturnya.

Hasil kontradiktif lain juga diungkap oleh Departemen Keuangan, di mana sebanyak 293 daerah (57,45 persen) dari total daerah, belum menyelesaikan peraturan daerah (Perda) tentang APBD 2009. "Sementara 65 persen dari total belanja negara yang ditetapkan dalam APBN mengalir ke daerah. Termasuk daerah-daerah yang secara definitif belum memiliki Perda APBD, namun tetap mengeksekusi APBD tanpa payung hukum yang jelas," jelas Aziz lagi.

Aziz juga menyinggung faktor pemerintah pusat sebagai variabel yang tidak terukur dalam proses penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah dari waktu ke waktu. "Ibarat pendulum, kebijakan pemerintah bergerak bolak-balik ke dua arah yang bertentangan: ke arah otonomi daerah seperti masa pemerintahan Habibie, atau berbalik lebih memihak sentralisme seperti sekarang setelah berlakunya UU Nomor 32 tahun 2004," kritiknya.

JAKARTA - Otonomi daerah sudah berlangsung sekitar 10 tahun. Namun dalam perjalanannya, 91 persen daerah otonom baru ternyata belum punya rencana

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News