Muhammadiyah Bersaing dengan Negara
Jumat, 09 Juli 2010 – 00:26 WIB
Tidaklah mencengangkan jika pendidikan Muhammadiyah yang sejak awal memadukan ilmu-ilmu agama dan umum sangat inovatif ketika pendidikan di masa kolonial berada dua kutub yang ektrim. Yang satu ditandai dengan pondok pesantren kuno dengan metode “sorogan”-nya, dan lainnya pendidikan klasikal dan sekuler ala kolonial. Tiba-tiba muncul pola pendidikan alternatif ala Muhamamdiyah, tentu saja sangat brilian.
Baca Juga:
Pemerintahan Hindia Belanda sendiri tak pernah menandingi pola pendidikan Muhamamdiyah, yang juga diikuiti oleh Nahdlatul Ulama (NU), Al-Wasliyah dan sebagainya. Kaum kolonial juga tak menandingi pendidikan ala Taman Siswa, atau model INS di Kayu Tanam yang mengutamakan keterampilan.
Pendidikan pemerintah kolonial seperti berjalan sendiri dengan institute hukum, kedokteran dan sebagainya. Disadari atau tidak telah menciptakan keragaman dunia pendidikan. Seolah-olah pemerintah kolonial memberi ruang bagi pendidikan ala Muhamamdiyah, NU, Taman Siswa dan INS Kayu Tanam untuk berkembang sesuai identitasnya.
Tak heran jika kemudian banyak lahir kader-kader dan pemimpin bangsa dari pesemaian pendidikan pribumi tersebut. Kader dan pemimpin pun berlahiran dari berbagai institusi pendidikan Belanda baik yang berada di Hindia Belanda maupun di negeri Belanda.