Muhammadiyah Bersaing dengan Negara
Jumat, 09 Juli 2010 – 00:26 WIB
Dalam suasana kerepotan mengurus berbagai amal usaha itulah, Muhammadiyah kehilangan kepionirannya dibanding di masa kolonial. Bagaimana mungkin lagi menciptakan berbagai gerakan pembaharuan yang inovatif dan alternatif, jika mengurusi amal usaha yang rutin saja sudah menyita energy, pikiran dan dana.
Fenomena gerakan yang semakin menciut itulah yang mendorong sebagian kader Muhammadiyah masuk ke pentas birokrasi, bahkan juga ke pentas politik. Selain sejak debut PAN pada awal masa reformasi, juga pada era Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) di era Orde Baru serta sebelumnya via Masyumi pada 1950-an.
Posisi Muhamamdiyah yang independen memungkinkan para kadernya pula masuk ke parpol lain, seperti Golkar, PPP, PDI (dan kemudian PDIP) dan sebagainya. Tak sedikit kader Muhammadiyah yang terperangkap dalam isu perebutan kekuasaan. Akibatnya, Muhammadiyah kurang mandiri terhadap kekuasaan.
Sejarah perjalanan Muhamamdiyah di Tanah Air memang tak berada di ruang kosong. Berbagai pengaruh eksternal sangat mempengaruhi identitasnya sebagai gerakan pembaharuan yang akhirnya kian mengendor. Semakin tidak fokus jika dibandingkan dengan saat era kelahiran dan puluhan tahun sesudahnya.