Muktamar Minoritas
Oleh: Dahlan Iskan
Akan tetapi ini kan soal nama. Bukan soal bahasa.
Terserah saja mau ditulis seperti apa, bahkan tulisan di akta seperti itu kadang suka-suka pengurus kampung: mau ditulis seperti apa. Baru di zaman belakangan orang peduli ejaan nama anak masing-masing.
Di desa, di Jawa dulu, waktu saya kecil, kami tidak peduli dengan ucapan mana yang paling benar. Misalnya ketika belajar mengeja huruf Arab.
Huruf bertama dibaca 'alip' –bukan alif. Huruf kedua, ketiga dan keempat, semua dibaca sama: 'sak' –tidak perlu mengubah-ubah posisi lidah.
Demikian juga huruf 'ain, kami baca dengan bunyi 'ngain. Alimin jadi Ngalimin. Alamin jadi ngalamin.
Pun sampai saya remaja masih seperti itu. Kebiasaan itu pula yang terbawa sampai dewasa. Akibatnya, ketika belajar bahasa Inggris dan Mandarin, saya terbiasa kurang peduli dengan konsonan: time saya baca taim –bukan thaim.
Lalu bagaimana cara mengucapkan nama belakang Gus Yahya itu?
Diucapkan "Staquf" seperti orang mengucapkan kata 'stasiun'? Atau diucapkan "Sakuf" –seperti orang desa saya membaca huruf Arab?