Muktamar Minoritas

Oleh: Dahlan Iskan

Muktamar Minoritas
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

Awalnya, NU itu benar-benar organisasi ulama. Namanya saja Nahdlatul Ulama –kebangkitan ulama.

Ketika pada 1950-an berubah menjadi partai, NU memerlukan banyak sekali suara. Maka siapa saja bisa menjadi anggota NU –tentu yang cocok dengan garis perjuangan NU.

Diperlukan juga cabang dan ranting di seluruh Indonesia. Diperlukan pula tokoh luar Jawa sebagai ketua umum. Jadilah Idham Khalid, orang dari pedalaman Kalsel, sebagai ketua umum –terlama dalam sejarah NU.

Dengan latar belakang seperti itu maka program kembali ke khitah akan memakan energi yang sangat besar dari Gus Yahya.

Yang bagi Gus Yahya ringan ialah perjuangan moderatisasi beragama. Pendahulunya sudah meratakan jalan ke sana. Gus Yahya ingin mengglobalkannya.

Selama ini suara moderat itu masih lebih bergaung hanya di dalam negeri. Itu yang akan dikembangkan ke dunia internasional.

Dengan demikian, ke depan, suara Islam di dunia tidak hanya didominasi dari suara Islam Timur Tengah.

Intinya, Muktamar NU yang awalnya terasa panas, ternyata bisa jadi percontohan berdemokrasi yang baik. Tidak ada calon tunggal.

Incumbent Ketua Umum KH Said Aqil Siroj kalah. Incumbent Katib Aam PBNU KH Yahya Staquf atau Gus Yahya menang di Muktamar NU.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News