Museum di Istanbul

Museum di Istanbul
Museum di Istanbul

Namun Museum of Innocence justru membalikkan fokus. Alih-alih menyuguhkan kesan keren dan bombastis, ia justru hadir di ruangan sempit dan mungil yang membutuhkan pengunjung berkonsentrasi pada hal-hal yang bersifat domestik dan dangkal. Ini yang disebut dengan keintiman: cerita-cerita kecil yang tersusun dan yang terpenting bersifat pribadi.

Pada saat yang sama, museum ini juga merupakan manifestasi fisik dari novel Pamuk. Tiap-tiap bab yang berjumlah delapan puluh tiga (termasuk satu bab yang berjudul “4213 Cigarette Butts”) divisualisasikan ke dalam format 3-D dengan lemari kaca dan diorama.

Tentu, ada saat dimana kebanggan sebuah museum ini terkesan agak dipaksakan (jangan lupa bahwa Kemal dan Fusun keduanya adalah tokoh karakter fiksi). Siapapun pasti bertanya-tanya apa yang mendorong seorang peraih Nobel Sastra begitu “menyia-nyiakan” waktunya hanya untuk merakit, menampilkan dan mengkatalogkan sejumlah benda yang begitu banyak terkumpulkan di museum?

Sebagai contoh, kesemua 4213 puntung rokok  masing-masing dipisahkan dengan tanggal dan penjelasan di bawahnya.

Tapi jangan khawatir. Selain sinis dan agak nakal, Pamuk juga sangat subversif. Pamuk adalah seorang novelis yang menyuguhkan kenikmatan bacaan berlapis-lapis dan terkecap oleh indera seperti baklava yang banyak dijumpai di toko kue di Istanbul.

Penulis jelas terpesona oleh ide-ide peradaban – diambil dari era Enlightenment – yang mendukung budaya terbangunnya museum-museum. Ironisnya, pada tahun 1700-an dan 1800-an, periode era Enlightenment yang sedang berkembang pesat juga saat dimana Ottoman gagal beradaptasi dan mengalami masa-masa sulit dan keputusasaan. Ottoman melepaskan wilayah demi urusan diplomatik dan kekalahan militer.

Era Khalifah berjaya adalah justru saat orang-orang Eropa menuai manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang muncul pada periode ini, juga kajian penelitian yang intens dan berkelanjutan.

Pada kondisi yang sama, nasib kepenulisan dan kehidupan di Turki saat itu, seperti Pamuk gambarkan yaitu terjebak di antara dua dunia –Barat dan Muslim. Pamuk lantas menghindari pertanyaan abadi tersebut tentang mana yang lebih baik, karena ia sadar ketegangan akan wacana ini semakin berkembang.

MASIH tentang Istanbul, minggu lalu saya memasuki sebuah bangunan –atau lebih tepatnya, “tempat penyimpanan keingintahuan” –

JPNN.com WhatsApp

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News