Mutasi Cacar Monyet Dinilai Sangat Cepat, Begini Penjelasan Ahli
jpnn.com, JAKARTA - Konsultan penyakit tropik dan infeksi RSUP Dr Cipto Mangunkusumo, Robert Sinto menjelaskan mutasi virus cacar monyet atau monkeypox yang dinilai sangat cepat.
Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat, rata-rata ditemukan 50 mutasi strain baru cacar monyet pada 2022 dibanding pada 2018 dan 2019.
Robert menilai mutasi cacar monyet terlihat dari perbedaan karakteristik di negara endemis, seperti Kamerun, Benin, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Gabon, Ghana (hanya diidentifikasi pada hewan), Pantai Gading, Liberia, Nigeria, Republik Kongo, dan Sierra Leone dengan negara nonendemis.
“Itu kenapa muncul hipotesis mengapa tampilan klinisnya agak berbeda dengan tampilan klinis yang kita temukan di Afrika dalam beberapa bulan terakhir,” kata Robert dalam konferensi pers, Rabu (27/7).
Sebelumnya, lanjut dia, gejala cacar monyet di negara endemis terlihat dari lesi kulit yang menyebar di seluruh tubuh.
Namun setelah terjadi mutasi, lesi kulit hanya terlihat di beberapa bagian tubuh seperti mulut, telapak tangan, wajah, dan kaki.
Perbedaan lainnya ialah cacar monyet di Afrika bisa menginfeksi semua kelompok umur, sementara di negara nonendemis, kasus cacar monyet didominasi oleh laki-laki dengan rata-rata usia sekitar 37 tahun.
“Meski banyak dialami laki-laki, namun penyakit ini tidak segmented. Semua orang memiliki potensi tertular virus ini. Saat ini masih dilakukan penelitian oleh WHO,” tambah Robert.
Konsultan penyakit tropik dan infeksi RSUP Dr Cipto Mangunkusumo, Robert Sinto menjelaskan mutasi virus cacar monyet atau monkeypox yang dinilai sangat cepat.
- Pembuat Kebijakan Perlu Memaksimalkan Keterlibatan Akademisi Dalam Perumusan Regulasi
- Jadi Ancaman Global, Aksi SIAP Lawan Dengue Diluncurkan
- AHF Indonesia Dorong Peran Asia dalam WHO Pandemic Agreement
- Deteksi Dini Down Syndrome, Cordlife Persada Hadirkan Layanan NIPT Lokal di Indonesia
- Cegah Diabetes dengan Dua Cara Ini, Ampuh Menjaga Gula Darah
- Cacar Monyet Jadi Masalah Kesehatan Publik Utama di Afrika