Nasib 5-3-2 untuk Mengoreksi 'Zaman Saya'
Di awal "zaman saya dulu" (maksudnya di zaman Pak Harto, hehe...) memang pupuk kimia seperti urea, digalakkan segalak-galaknya. Waktu itu memang zaman kekurangan pangan. Produksi beras harus digenjot: sebanyak mungkin dan secepat kilat. Pupuk kimia adalah jalan pintas mengatasi persoalan. Indonesia swasembada beras.
Namun, kemudian disadari bahwa penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus itu telah merusak tanah. Kesuburan tanah berkurang drastis. "Masih enak zaman saya" telah membuat "tidak enak di zaman Facebook dan Twitter".
Mau tidak mau tanah yang mati akibat pupuk kimia itu harus dihidupkan kembali. Harus disuburkan. Caranya: memberikan pupuk organik di sawah-sawah itu.
Sudah lima tahun di zaman Pak SBY ini program menyuburkan kembali sawah dilakukan. Tiap tahun pupuk organik disubsidi. Agar terjangkau. Agar petani mau menebarkan pupuk organik. Agar tanah subur kembali.
Para petani juga mulai sadar akan pentingnya pupuk organik. Sangat bangga melihat petani mulai fanatik dengan pupuk organik. Rumus "5-3-2" sudah di luar kepala.
Haruskah kini petani kembali ke "zaman saya dulu"? Mengapa di saat seperti itu subsidi pupuk organik justru dihentikan? Haruskah petani lagi yang dikecewakan? Mengapa kelangsungan program Pak SBY ini harus terputus?
Ketika berkumpul dengan 180 produsen pupuk organik itu, Kamis minggu lalu di Gramedia Expo, Surabaya, masih belum ditemukan solusi. Mereka hanya bisa kecewa, mengeluh, dan marah.
Hadi Mustofa, anak muda Tulungagung yang juga produsen pupuk organik, akhirnya angkat bicara: kalau memang subsidi pupuk organik tetap dihapus, bagaimana kalau harga pupuk nonorganik dinaikkan? Dengan demikian, subsidi untuk nonorganik berkurang. Ini bisa dialihkan menjadi subsidi pupuk organik. Sekalian mengurangi pemakaian pupuk kimia.