Negara Federal Menabuh Tifa, Politik Luar Negeri Indonesia Tinggal Menari

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina

Negara Federal Menabuh Tifa, Politik Luar Negeri Indonesia Tinggal Menari
Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation. Foto: dok.pribadi for JPNN.com

jpnn.com - PADA pekan terakhir Agustus 2023, Presiden Joko Widodo menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa) ke-15 di Sandton Convention Center, Johannesburg. Saat itu, Joko Widodo menyatakan Indonesia akan mempertimbangkan keikutsertaannya sebagai anggota BRICS.

Meski semua negara anggota menyetujui masuknya Indonesia dalam keanggota BRICS, tetapi ditunda karena menanti terbentuknya pemerintahan baru di Indonesia melalui Pemilu 2024.

Hanya beberapa hari setelah Pemerintahan Prabowo-Gibran terbentuk, Menlu Sugiono yang baru dilantik melakukan tugas perdana ke luar negeri sebagai utusan khusus Presiden Prabowo untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus 2024 di Kazan, Rusia.

Kemudian, pada 6 Januari 2025, Brazil sebagai pemimpin BRICS 1 Januari 2025 sampai 31 Desember 2025 mengumumkan kalau Indonesia menjadi anggota penuh BRICS. Namun, keanggota Indonesia ini tidak serta merta karena melalui proses dalam KTT Johannesburg pada 2023.

Untuk itu, keanggotaan Indonesia dalam BRICS tidak terlalu mengejutkan karena indikasinya sangat jelas sejak Indonesia mengambil bagian dalam KTT BRICS. Namun, Indonesia akan dihadapkan dengan sejumlah implikasi baik positif maupun negatif sebagai konsekuensi logis dari keanggotaan dalam BRICS.

Patut digarisbawahi dalam konteks BRICS, Indonesia tidak perlu terlalu berbangga diri kalau dunia internasional memandang Indonesia sebagai negara penting. Hal semacam itu hal yang lumrah dalam diplomasi. Tapi, bagi Indonesia dipandang penting atau tidak, sejatinya memang penting.

Negara mana yang tidak tergiur dengan sumber daya alam Indonesia? Negara mana yang tidak menelan liur dengan jumlah penduduk Indonesia yang merupakan pasar potensial? Kekuatan Indonesia ini hanya bisa dikelola dengan kepemimpinan yang terampil memainkan peran dalam tataran global.

Sayangnya, hal ini tidak terlihat dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain. Keberadaan Indonesia dalam BRICS tidak lebih sebagai penari yang menari di tifa yang ditabuh pihak lain. Status sebagai penari ini hanya sekadar menghibur dengan mengeksploitasi potensi diri untuk menghibur penonton dengan irama yang ditabuh Brazil, Rusia, India, China yang disusul Afrika Selatan.

Silakan disimak analisis Engelina Pattiasina mengenai keanggotaan Indonesia di BRICS, kaitannya dengan politik luar negeri era Presiden Prabowo.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News