Negara Federal Menabuh Tifa, Politik Luar Negeri Indonesia Tinggal Menari
Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina
Indonesia bukan pelopor, apalagi bermimpi menjadi pemain utama dalam tataran global maupun geopolitik. Dari sejumlah aliansi APEC, G20 dan sebagainya sangat jelas, Indonesia hanya sekadar ikut arus besar tanpa menjadikan diri sebagai pelopor dan penentu arah di kawasan maupun global.
Bahkan, di kawasan ASEAN, kalau mau jujur, pengaruh Indonesia tidak sekuat pada masa orde baru. Lebih terkejut lagi, ketika Indonesia praktis tidak memainkan peran apapun di Kawasan Indonesia Pasifik, meskipun, secara geografis, separuh wilayah Indonesia berada dalam gugusan pasifik, demikian pula penduduknya memiliki ras yang sama dengan negara-negara Pasifik Selatan.
Justru, negeri-negara besar memainkan peran yang sangat menentukan masa depan kawasan Indo Pasifik. Untuk itu, hanya dengan sikap fokus terhadap persoalan hubungan luar negeri yang memungkinkan potensi dan letak geografis Indonesia yang strategis dan kaya sumber daya alam dapat bermanfaat maksimal bagi kesejahteraan rakyat.
Contoh lain, posisi Indonesia dalam menyikapi persoalan Israel-Palestina, praktis tidak bisa memainkan peran apapun, justru hanya sebatas “tukang kutuk”, seruan, imbauan dan mengirim bantuan kemanusiaan, tetapi tidak mampu berperan dalam menghasilkan solusi damai. Posisi penengah hanya mungkin dilakukan oleh pihak yang setidaknya dianggap netral, dimana omongan dan tindakan sejalan dengan politik bebas aktif.
Bahkan, secara sadar, Palestina hanya sekadar objek politik, dimana isu Palestina dikapitalisasi untuk meraih popularitas dan simpati politik dalam negeri. Di satu sisi, Indonesia begitu mencintai Palestina, sehingga tampak seolah lebih peduli ketimbang nasib sesama anak bangsa yang sangat menderita di berbagai pelosok negeri.
Hanya saja, sikap Indonesia mulai goyah, karena secara aktif berusaha untuk bergabung ke dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Dimana mau atau tidak, Indonesia membutuhkan tanda tangan Israel untuk bisa diterima sebagai anggota OECD. Di sini, jelas terlihat, siapa penari dan siapa penabuh tifa.
Terlepas dari sikap kritis peran Indonesia di pentas global. Tidak terlalu keliru untuk melakukan instropeksi dari semua ini. Hipotesis sederhana: jika Indonesia masih menganut sistem kesatuan, maka politik luar negeri Indonesia hanya sebatas penari! Sebab, hanya dengan sistem berbagai kewenangan melalui sistem federasi yang memungkinkan pemerintah pusat secara otomatis akan berada pada posisi outward looking, yang berorientasi kepada kawasan dan global, untuk menjangkau negara-negara lain secara efektif dan intensif. Federalsime akan memberikan kesempatan yang luas kepada pemerintah pusat untuk fokus menabuh tifa di tingkat global.
Sebaliknya, dalam sistem kesatuan, pemerintah pusat akan terjebak dalam dilema antara fokus ke dalam atau ke luar negeri. Tentu, idealnya, urusan luar negeri dan dalam negeri berjalan bersamaan, tetapi itu hanya ada dalam teori. Praktek bernegara selama ini sudah membuktikan, dimana persoalan pendidikan, kesehatan, kesejahetaraan, kemiskinan dan sebagainya menjadi tantangan serius bagi Indonesia.
Silakan disimak analisis Engelina Pattiasina mengenai keanggotaan Indonesia di BRICS, kaitannya dengan politik luar negeri era Presiden Prabowo.
- Pemerintah Akan Keluarkan Aturan Pembatasan Usia Pengguna Medsos Bagi Anak
- Hari Koplo
- 6 Tuntunan R2 dan R3 PPPK 2024 di Demo Nasional, Semoga Didengar Presiden Prabowo
- Selamat, Pertamina Raih Penghargaan Internasional Bidang Investor Relations
- Prabowo Masuk Daftar 10 Pemimpin Dunia Berpengaruh, Ketum Garuda Asta Cita Merespons
- Program MBG Bukti Presiden Prabowo Berkomitmen Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat