Negara Federal Menabuh Tifa, Politik Luar Negeri Indonesia Tinggal Menari
Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina
Sementara politik luar negeri, Indonesia memainkan peran sebagai penari yang ditabuh negara-negara besar yang memang menganut sistem federal, dimana politik luar negeri merupakan “dunianya” dan tuntutan konstitusinya. Dengan sendirinya, sikap outward looking ini akan menjadikan negara-negara lain sebagai sasaran untuk memastikan kelangsungan negaranya. Bila perlu dengan menciptakan para penari melalui berbagai elemen di sebuah negara.
Untuk itu, bergabungnya Indonesia dalam BRICS dan aliansi internasional apapun ibarat kambing berada dalam kandang serigala. Bermain dalam poros Amerika, juga tidak ada bedanya hanya sekadar penari. Begitu juga dalam pilihan bergabung dengan BRIC ini hanya perpindahan tabuhan irama tifa, tetapi tetap berada pada posisi penari.
Kekuatan politik luar negeri dari negara pelopor BRIC (sebelum Afrika Selatan bergabung) tidak perlu diragukan, karena memang pemerintah pusatnya memikul tanggung jawab sebagai penabuh tifa bagi negara lain. Brazil, Rusia dan India adalah federal, dimana tugas utama pemerintah pusat untuk mengurus persoalan luar negeri, sehingga tidak mengejutkan ketika negara-negara ini selalu memainkan peran dalam tataran global.
Sementara China, meski bukan federal, tetapi dengan pemerintahan sentralistis akan memudahkan fokus ke luar negeri karena pengelolaan dalam negeri terkonsolidasi melalui kekuatan terpusat.
Begitu juga, posisi Indonesia di ASEAN sangat dihormati, karena pemerintahan sentralistis orde baru lebih mudah untuk mengkonsolidasikan kestabilan di dalam negeri, sehingga memiliki energi untuk fokus pada persoalan kawasan.
Namun, bisa saja, ada yang menyodorkan fakta bahwa Bung Karno pernah menjadi macan ketika menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Benar demikian adanya. Tetapi, juga tidak boleh melupakan fakta, beberapa tahun sebelum KAA, Indonesia adalah negara federal, dimana daerah mengurus rumah tangganya masing-masing, sehingga hanya mengenal istilah kepala daerah. Di kemudian hari, istilah kepala daerah dilekatkan dengan bupati/gubernur sebagai alat sentralistis pemerintah pusat.
Selain itu, di balik berkibarnya Bung Karno dalam pentas Asia Afrika Bandung, Indonesia harus menanggung konsekuensi ketika daerah tidak terurus dengan baik, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan gejolak di daerah, seperti Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Maluku, termasuk persoalan Papua yang tidak menemui titik temu dalam Konferensi Meja Bundar 1949.
Jadi, tuntutan zaman bukan lagi pada dikotomi sentralistis dan desentralisasi, tapi perlu menimbang sistem federasi untuk memeberikan peluang bagi pusat memainkan peran di tataran global untuk memastikan tidak kepentingan Indonesia yang dirugikan atau dieksploitasi dalam hubungan internasional. Apalagi, federal bagi Indonesia bukan hal yang tabu. Sebab, butir Pancasila mengamantkan Persatuan Indonesia, yang justru lebih federasi ketimbang kesatuan.
Silakan disimak analisis Engelina Pattiasina mengenai keanggotaan Indonesia di BRICS, kaitannya dengan politik luar negeri era Presiden Prabowo.
- Presiden Prabowo Mengevaluasi Proyek PSN PIK2, Jokowi: Ya, Enggak Apa-Apa
- Indonesia Masuk BRICS, Sukamta: Peluang Strategis Memperluas Jaringan Ekonomi & Diplomasi Global
- Pemerintah Akan Keluarkan Aturan Pembatasan Usia Pengguna Medsos Bagi Anak
- Hari Koplo
- 6 Tuntunan R2 dan R3 PPPK 2024 di Demo Nasional, Semoga Didengar Presiden Prabowo
- Selamat, Pertamina Raih Penghargaan Internasional Bidang Investor Relations