Negara Federal Solusi: Kucing Lebih Diterima Istana Ketimbang Orang Kawasan Timur

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina

Negara Federal Solusi: Kucing Lebih Diterima Istana Ketimbang Orang Kawasan Timur
Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina. Foto: dok.pribadi for JPNN.com

Sebaliknya, dengan bentuk federatif membuka kemungkinan bahwa pembangunan di masing-masing wilayah dapat berlangsung sepenuhnya secara independen dari pembangunan di wilayah lain.

Diskursus federasi dan unitarian ini telah mewarnai tahun 1916 sampai Indonesia merdeka, sehingga menyederhanakan sebagai gagasan negara boneka Van Mook sebenarnya tertolak dengan sendirinya. Sebab, gagasan ini telah jauh ada sebelum era Van Mook. Pandangan Budi Otomo maupun Colijn muncul ketika Belanda masih kuat menancapkan kaki di Hindia Belanda, sehingga jauh lebih objektif ketimbang gagasan yang muncul setelah Indonesia merdeka.

Meski dapat dipahami kalau gagasan negara kesatuan merupakan kebutuhan sejarah untuk menyatukan Indonesia. Tetapi, perkembangan mutakhir ketika federasi menjadi kebutuhan untuk membuka kesempatan dalam pencapaian kesejahteraan, tentu sangat bijak untuk menimbang bentuk federal. Sebab, hasil berbeda hanya dapat dicapai dengan cara berbeda!

Kalau dibandingkan dengan situasi saat ini, kekhawatiran Colijn pada tahun 1918 itu menjadi kenyataan, karena Jawa bukan hanya menguasai aspek politik pemerintahan, yang dengan sendirinya akan mengontrol distribusi kekayaan sumber daya alam. Ketika aspek politik telah dikuasai secara mutlak, maka dengan sendirinya akan mendominasi semua aspek strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai bukti tidak perlu jauh-jauh. Lihatlah struktur kabinet dari masa ke masa, termasuk masa Presiden Prabowo. Secara sarkatis, penulis menerima pesan kalau kucing lebih diterima istana ketimbang orang dari timur. Tentu ini ungkapan sarkastis betapa dominasi wilayah lain begitu kebablasan dalam mengelola negara ini. Minta maaf! Biarkan kawasan timur ini dibangun orang timur sendiri, sehingga maju dan mundurnya kawasan ini menjadi tanggung jawab sendiri. Sebab, tidak elok orang kawasan timur meminta atau mengemis dalam negara yang juga didirikan para pendahulu dari kawasan timur.

Kawasan timur tidak boleh menjadi sandungan atau kerikil yang menghambat pencapaian Indonesia Emas 2045. Dengan kondisi saat ini, hampir mustahil kawasan timur ikut dalam merayakan Indonesia Emas 2045.

Dengan postur kabinet baru ini, orang yang sangat optimis sekalipun tidak akan mudah percaya kalau gagasan besar Indonesiasentris diwujudkan oleh kabinet berwatak Jawasentris. Dalam skala keluarga sekalipun tidak mungkin satu keluarga akan membangun keluarga lain. Apalagi dalam konteks bernegara. Partisipasi dan akses dalam mengelola negara merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kebersamaan sebagai sebuah negara.

Orang kawasan timur tidak boleh dilatih untuk bersikap take for granted, untuk sekadar menikmati hasil kerja keras para figur-figur dari kawasan lain atas nama nasionalisme. Disepakati atau tidak, watak dasar nasionalis sesungguhnya adalah sikap egois dalam skala yang berbeda. Misalnya, dalam skala negara akan egois untuk negaranya sendiri. Tetapi, secara mendasar nasionalis menuntut sikap dasar yang egois dalam skala kecil maupun besar.

Engelina Pattiasina mengatakan, upaya mengatasi ketimpangan atau disparitas kawasan barat dan timur seolah menemui jalan buntu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News