Negara Tak Urus Cabai
Senin, 10 Januari 2011 – 01:17 WIB
Tidak mustahil pula fenomena itu terjadi lintas daerah di Sumatera dan Jawa, yang transaksi sangat gesit di era teknologi informasi ini. Pula, arus cabai antar daerah itu bukanlah perbuatan pidana. Apalagi distribusi komoditas cabai sepenuhnya ditangani antarpedagang, minus intervensi negara, sehingga, ya, sangat neoliberal.
***
Hasil Forum Kajian Ekonomi Regional BI yang dipublikasi pada Selasa (4/1) di Jakarta, semakin meyakinkan saya bahwa bisnis cabai sangat neolib. Disebutkan, para pedagang besar ternyata meraup untung 30 persen sebelum melemparnya ke pasar. Nah, pedagang eceran juga memetik rente 25-30 persen pula. Tak heran jika harga cabai terus membubung, padahal para petani hanya menerima Rp 17.000 – Rp 20.000 per kg.
Mestinya, negara hadir dalam arus distribusi cabai ini. Karena jika tidak, maka pedagang bebas berspekulasi, dan sesuai hukum ekonomi, mereka melempar cabai ke daerah yang langka cabai sehingga harga menaik. Lalu, lempar lagi ke daerah lain, jika daerah pertama sudah panen atau pasokannya memadai.