Negeri Amplop

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Negeri Amplop
Ilustrasi amplop. Foto: Boy/JPNN.com.

Amplop harfiah ala Jokowi beda dengan amplop imajinatif ala Gus Mus. 

Dalam puisi Gus Mus itu digambarkan bagaimana para pemegang amplop di negeri amplop punya kesaktian yang mandraguna, bisa menyulap apa saja tanpa ada yang mustahil. 

Pesulap legendaris David Copperfield tidak akan laku di Indonesia karena teknik sulapnya dianggap ketinggalan zaman dan kalah oleh para pesulap politik di Indonesia.

Amplop-amplop mengamplopi apa saja. Uang menjadi kuasa. Keputusan-keputusan politik penting dikendalikan oleh uang.

Keputusan tertinggi untuk memimlih pemimpin nasional pun tidak luput dari pengaruh uang. 

Kabar yang sekarang sedang santer menyebutkan seorang direktur BUMN yang mengelola uang sebesar Rp 300 triliun untuk kepentingan pemilihan presiden.

Sinyalemen itu dilempar oleh pengacara Kamarudin Seimanjuntak yang tengah menangani kasus pembunuhan Brigadir Joshua dengan tersangka Ferdy Sambo dan istri. 

Sinyalemen itu belum diverifikasi dan belum dikonfirmasi. Meski demikian, di zaman serbadigital seperti sekarang isu-isu semacam itu bisa berkembang dengan cepat dan menjadi bola liar.

Penggalan puisi ‘Negeri Amplop’ dari K.H Mustofa Bisri alias Gus Mus itu menjadi kritik keras terhadap budaya amplop yang menjalar luas di negeri amplop.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News