Ngaji Wagiman
Oleh: Dahlan Iskan
Ia masih ingat langgar pertama di desa itu didirikan di dekat rumahnya. Itu pun karena tetangganya kawin dengan wanita dari Desa Sedan, Rembang, yang dikenal sebagai desa santri. Sang istri yang minta agar ada musala di halaman rumah mereka.
Sejak itu, Wagiman tidur di musala itu. Di langgar itu ia sempat belajar mengaji tetapi tidak lama. Tidak sampai bisa beneran.
Langgar itu lebih bagus dari rumah orang tuanya: dinding anyaman bambu, atap daun, dan lantai tanah. Ia kerasan di musala itu. Setidaknya untuk tidur.
"Di desa saya dulu tidak ada yang bisa mengaji," katanya. "Ayah saya sendiri tukang main judi," tambahnya.
Merantau adalah memutus mata rantai masa lalu. Pun ketika merantau itu hanya untuk menjadi pembantu rumah tangga. Wagiman pun akhirnya menjadi pembantu rumah tangga orang besar: Kepala Bulog.
"Ketika ramai Bulog Gate di zaman Presiden Gus Dur itu saya jadi pembantu di rumah beliau," katanya.
Yang membuatnya berubah total adalah ketika menjadi pembantu rumah tangga di rumah seorang arsitek. Ia sering diminta membantu saat tuan rumah membuat desain.
Ia diminta mengambilkan pensil, penghapus, dan penggaris. Lama-lama ikut membantu menggaris. Ia belajar menggaris. Hati-hati. Agar benar-benar lurus.