Nilai Kecurangan Pilpres Semakin Jelas
jpnn.com - JAKARTA - Keterangan beberapa saksi dari Papua yang dihadirkan kubu Prabowo-Hatta diperdengarkan dalam sidang lanjutan gugatan pilpres di Mahkamah Konstitusi, Selasa (12/8). Beberapa saksi tersebut menyatakan bahwa tidak ada pencoblosan lantaran semua orang di sana dipaksa untuk memilih pasangan Jokowi-JK.
"Di Kabupaten Dogiyai (Prabowo-Hatta) dapat nol suara karena ketua penyelenggara pemilu, beserta empat anggotanya itu memerintahkan agar PPS, PPD, sampai KPPS mengkosongkan pasangan nomor satu. Semua suara dikasih ke nomor dua. Jadi tidak ada pencoblosan,” kata salah satu saksi Elvincent Dokomo yang berasal dari Kabupaten Dogiyai, Papua di depan majelis hakim.
Kubu Prabowo-Hatta sendiri menduga telah terjadi kecurangan di 12 kabupaten/kota di Papua, karena tidak terjadi pelaksanaan pilpres. Pasalnya, saat pelaksanaan pilpres, petugas langsung membagikan surat suara untuk kemudian dicoblos.
Bahkan, dalam pleno di Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Prabowo-Hatta mengajukan keberatan terhadap hasil perhitungan suara di 12 kabupaten/kota di Papua yang mengunakan sistem Noken. Beberapa kabupaten/kota itu adalah Kabupaten Sarmi, Kepulauan Yapen, Nabire, Keroom, Kota Jayapura, Yalimo, Yahukimo, Puncak Jaya, Jayawijaya dan sejumlah kabupaten lainnya di Pegunungan Tengah Papua.
Lebih lanjut Maqdir mengatakan, kejanggalan terjadi di Sumatera Utara, khususnya Nias, ada saksi yang mengemukakan bahwa ada pencoblosan yang dilakukan oleh KPPS, jadi penyelenggara tingkat bawah yang melakukan pemilihan siapa yang akan mereka pilih. “Saya kira tidak benar cara-cara seperti ini,” katanya.
Bahkan, kuasa hukum Tim Merah Putih Maqdir Ismail mengatakan bahwa ada satu saksi yang memberikan kesaksian bahwa orang tuanya yang sudah meninggal pun tercatat ikut memilih. "Orang tua yang sudah meninggal ini tercatat sebagai pemilih dan namanya tercatat empat kali sebagai pemilih, bahkan dirinya dan kakaknya tercatat enam kali sebagai pemilih,” terangnya.
Sementara, salah satu anggota Tim Pembela Merah Putih Firman Wijaya mengemukakan bahwa data KPU sulit dipertanggungjawabkan. Mahkamah Konstitusi (MK), kata Firman, perlu menguji bahwa kecurangan-kecurangan ini ada kaitannya dengan tekanan dan intimidasi yang merusak sistem penyelenggaraan pemilu.
“Ini sudah masuk wilayah elections of crime yang dimensi kerusakannya itu luar biasa, maka, saya menawarkan konsep yang namanya whistle blower. Saksi-saksi ini harus dilindungi keamanannya karena keberanian mereka mengungkapkan fakta,” kata Firman.
JAKARTA - Keterangan beberapa saksi dari Papua yang dihadirkan kubu Prabowo-Hatta diperdengarkan dalam sidang lanjutan gugatan pilpres di Mahkamah
- Anggota DPD RI Jatim Lia Istifhama Bersilaturahmi dan Serap Aspirasi di Ponpes Al-Hakimy Pasuruan
- Jadi Ormas Keagamaan Terbesar Ketiga, HKBP Setia Melayani dan Menyejahterakan Masyarakat
- Erdogan Walk Out saat Presiden Prabowo Pidato, Kemlu: Itu Hal yang Lumrah
- Usut Kasus korupsi CSR, KPK Periksa Pejabat Bank Indonesia
- Menteri Lingkungan Hidup Apresiasi JakOne Abank, Ini Alasannya
- Pendaftaran PPPK 2024 Tahap 2 Bagi Honorer TMS Sudah Dibuka, Cukup Unggah 2 Dokumen