Nilai UN Harus Perhitungkan Rata-rata Daerah

Nilai UN Harus Perhitungkan Rata-rata Daerah
Nilai UN Harus Perhitungkan Rata-rata Daerah
JAKARTA—Penentuan nilai ujian nasional (UN) saat ini dinilai menggunakan rumus yang keliru, yang mengakibatkan kerugian dan membebani anak didik. Pengamat pendidikan, Arief Rahman menyarankan agar digunakan saja rumus standar norma. Menurutnya, standar norma merupakan satu-satunya standar yang bisa diterapkan di dalam pelaksanaan UN.

Dijelaskan Arif, rumus standar norma adalah nilai mentah dikurangi rata-rata daerah dan kemudian dibagi standar deviasi. “Dari rumus ini, maka dirasakan akan lebih adil bagi siswa. Karena di dalam rumus ini, nilai rata-rata daerah diperhitungkan. Selama ini kan tidak, padahal kondisi di masing-masing daerah itu berbeda-beda,” terang Arif di Gedung Kemdiknas, Jakarta, Senin (20/6).

Dijelaskan, hingga saat ini pemerintah cenderung menggunakan rumus standar mutlak. Artinya, lanjut Arief, pemerintah hanya menggunakan  nilai minimal kelulusan yang diterapkan di seluruh daerah. “Kalau penetapan nilai minimal dari Sabang sampai Merauke itu disamakan, itu namanya bukan ujian, tapi pemetaan. Tetapi kalau standar norma, nilai kelulusan ditentukan oleh kekuatannya masing-masing anak didik dan daerah,” tukasnya.

Pembobotan nilai UN dan Ujian Akhir Sekolah (UAS) yang masing-masing sebesar 60: 40 juga dinilai keliru. Seharusnya, terang Arief, justru UAS lah yang harus diberi bobot 60 persen, dan UN sebesar 40 persen. “Sebenarnya, pelaksanaan UN-nya sudah bagus, itu kan evaluasi. Masa ada sekolah tidak pakai evaluasi. Tetapi, standar mutlak itu kan menurut saya memang rumus keliru. Itu kebijakan yang sudah keliru dengan prinsip pendidikan,” imbuh Arief.

JAKARTA—Penentuan nilai ujian nasional (UN) saat ini dinilai menggunakan rumus yang keliru, yang mengakibatkan kerugian dan membebani anak

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News