No Day

Oleh: Dahlan Iskan

No Day
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

Lalu remaja Sumaryanto menjual sepedanya. Dia beli tiket kapal kayu dari Semarang menuju Pontianak. Itu tahun 1980-an. Dia dapat kenalan orang Pontianak asal Solo. Orang Solo itulah yang menampungnya sementara di Pontianak.

Begitu mulai dapat order ukiran, Sumaryanto cari kontrakan rumah sendiri. Namanya pun semakin terkenal sebagai orang yang ahli ukir. Mulailah banyak order dari rumah-rumah orang berpunya di Pontianak.

Di depan rumah kontrakannya itu sering ada pelajar putri yang lewat. Dia jatuh cinta pada salah satu gadis itu. Anak tetangga. Namanya: Rosita –seorang gadis Melayu berkerudung. Sumaryanto pun berhasil mengukirkan cinta di hati Rosita.

Anak pertama mereka perempuan. Yang kedua pun wanita. Sumaryanto sangat menginginkan anak laki-laki. Rosita diminta melahirkan terus. "Kalau perlu sampai tujuh anak," gurau Sumaryanto. Sampai lahir anak laki-laki.

Anak ketiganya ternyata laki-laki.

Saat itu Sumaryanto lagi senang-senangnya sepak bola. Tim pujaannya adalah Brasil. Maka dia pun menamakan anaknya dengan nama pemain bola Brasil: Veddriq Leonardo.

Sang istri agak ragu dengan nama itu. Tidak lazim orang Melayu punya nama seperti itu. "Kok namanya seperti orang bule?" tanya sang istri. "Apakah tidak apa-apa?" tambahnya.

"Hanya nama. Tidak apa-apa," jawab Sumaryanto.

Juara Olimpiade sudah berhasil diraih Veddriq Leonardo. Di usia 26 tahun. Yang belum bisa diraih adalah pasangan hidup. Penyebabnya sederhana: pacarnya...

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News