Nyindir DPR saat Sidang dengan Komposisi Angop
’’Konser ini buat saya adalah perayaan 50 tahun yang sudah saya lalui. Setelah mencapai satu terminal, saya bersiap ke terminal lain. Kenapa harus konser? Supaya saya merasa sekarang ini bukan zona aman. Supaya tetap ada kegelisahan,’’ jelas Djaduk mengenai latar belakang konsernya.
Bapak lima anak itu menyatakan, dalam album kedelapan tersebut, dirinya dan rekan-rekan banyak mengeksplorasi kekayaan bunyi-bunyian dari berbagai pelosok tanah air. Bahkan, delapan di antara sepuluh lagu dalam album itu terilhami khazanah musik Nusantara. Yakni, Piknik ke Cibulan, Jawadwipa, Pesisir, Swarnadwipa, Barong, Molukken (Kole-Kole), Demen Becik Rukun Seger Waras, dan Ritma Khatulistiwa. Dua lagu lainnya, Bethari dan Angop, terilhami kejadian sehari-hari.
Lagu Angop, misalnya. Repertoar yang kaya bebunyian yang menggunakan kelontongan sapi sebagai alat musik utama itu terinspirasi ketika Djaduk melihat anggota legislatif (DPR dan DPRD) sering angop (menguap, Red) ketika mengikuti sidang.
’’Jangan salah, menurut riset saya di Mbah Gugel (Google, Red), angop bisa berarti mengumpulkan energi dari sekeliling. Lalu tidur. Itu yang salah. Kalau yang benar, ya kerja lagi,’’ ucap Djaduk.
Sementara itu, lagu Jawadwipa, menurut dia, merupakan cerminan orang Jawa yang bersikap terbuka dan siap mengakomodasi kebudayaan dari berbagai penjuru negeri. Putra bungsu maestro tari (alm) Bagong Kussudihardjo tersebut ingin menyampaikan pesan bahwa ’’wong Jowo ilang Jowone’’.
’’Tapi, bukan arti yang negatif lho. Sebab, menurut saya, lagu Jawadwipa ini tak membuat orang Jawa terjebak dalam romantisme masa lalu. Tapi, Jawa yang dinamis, selalu berubah, dan adaptatif,’’ ucap pemusik otodidak tersebut.
Lagu Molukken (Kole-Kole), misalnya, merupakan bentuk kekaguman Djaduk terhadap alam Indonesia yang elok dan kaya raya. Dalam konteks lagu itu, Djaduk menggandrungi tanah Maluku dengan kekayaan rempah-rempahnya. Dalam tafsir suami Bernadette Ratna Ika Sari tersebut, Nusantara tidak akan seterkenal sekarang jika Maluku tidak menghasilkan rempah-rempah. Lagu itu dilantunkan dengan apik oleh penyanyi asli Maluku Glenn Fredly yang tampil sebagai bintang tamu.
Konser Gending Djaduk merupakan yang pertama setelah Kua Etnika meluncurkan album ketujuh, Nusa Swara (2010). Selepas itu, kelompok musik etnik kreatif tersebut lebih sering ’’mendompleng’’ tampil dalam acara-acara lain. Misalnya, mengiringi pementasan Teater Gandrik, monolog Butet Kartaredjasa, maupun manggung di pentas-pentas musik jazz di Indonesia.
Musisi kreatif Djaduk Ferianto punya cara tersendiri dalam merayakan ulang tahun emasnya. Berusia 50 tahun pada bulan lalu, dia merayakan hari kelahirannya
- Rumah Musik Harry Roesli, Tempat Berkesenian Penuh Kenangan yang Akan Berpindah Tangan
- Batik Rifaiyah Batang, Karya Seni Luhur yang Kini Terancam Punah
- 28 November, Masyarakat Timor Leste Rayakan Kemerdekaan dari Penjajahan Portugis
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara