Omnibus Lagi
Oleh: Dahlan Iskan
Singapura lebih ketat dari Indonesia: 1 tahun. Banyak negara seperti Indonesia, 3 tahun.
Bahwa IDI selama ini dianggap memonopoli izin itu dimaksudkan untuk menjaga kualitas pengabdian dokter. Kalau tidak, siapa yang mengontrol kode etik dokter.
Rasanya perlu ada jalan tengah yang baik. IDI harus diberi jaminan bagaimana mekanisme kontrol terhadap kode etik.
Dunia wartawan praktis sudah kehilangan kontrol itu. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sudah tidak bisa lagi mengontrol wartawan. Dunia jurnalistik sekarang ini hancur.
Pun soal rekomendasi IDI. Intinya pasti bukan karena IDI ingin memonopoli kekuasaan. IDI lebih menginginkan bagaimana agar profesi dokter terkontrol.
Akan tetapi kekurangan dokter –apalagi spesialis– adalah kenyataan. Tentu tidak bisa dengan alasan menjaga kualitas mengorbankan terpenuhinya jumlah dokter.
Pasti ada jalan agar dua-duanya tercapai: jumlah dan kualitas.
Rasanya itu yang paling mendasar. Pasti bisa dipecahkan. Soal pasal-pasal hukuman bagi dokter dan perawat yang melakukan keteledoran pasti bisa dikompromikan.
RUU Omnibus Law Kesehatan ini tebal sekali: 490 halaman. Isinya sangat sistematis. Sudah seperti RUU yang matang. Siap disahkan.
- WPC dan GPA Serukan kepada Pemerintah untuk Turut Mengakhiri Polusi Plastik
- IDI Banjarnegara Ungkap Pengobatan yang Tepat untuk Penderita Diabetes Melitus
- Pengamat Hardjuno Soroti Langkah DPR Memasukkan RUU Tax Amnesty ke Prolegnas 2024
- Wanita Global
- Mau Berubah?
- DPR Minta Kejaksaan Profesional di Sidang Praperadilan Tom Lembong