Ongko Laokao
Oleh: Dahlan Iskan
Inilah poligami damai yang tidak sampai digunjingkan seperti di PKS.
Awalnya Ongko Prawiro berbisnis tekstil seperti papanya. Tapi ia melihat temannya yang berbisnis di jalan yang sama. Toko di seberang jalan itu. Kok kelihatannya lebih enak: dagang kertas. Zaman itu, untuk kulakan kertas harus menyerahkan uang di muka.
Ongko pun ikut dagang kertas. Sama-sama barang lembaran, kertas tidak serumit tekstil. Di tekstil terlalu banyak corak. Setiap muncul corak baru, corak lama kurang laku. Uang banyak mati di stok lama. Padahal kian lama kian banyak corak baru. Kian cepat pula pergantian corak itu.
Beda dengan di kertas –yang hanya punya dua corak: putih dan putih sekali. Atau cokelat tebal dan cokelat tipis. Baru belakangan ada kertas aneka-warna.
Dari dagang kertas itu Ongko menyalip teman di seberang jalan: naik ke industri kertas. Ongko membangun pabrik kertas sendiri. Papanya kurang setuju, tapi Ongko ingin lebih maju dari sang papa.
Pabrik itu ia bangun di Kertosono.
Kok jauh dari Surabaya?
"Harus dekat dengan pabrik gula. Bahan bakunya ampas tebu," ujar Ong Mardi Hartono, anak laki-laki satu-satunya dari lima anak Ongko. Otomatis Mardi yang jadi pimpinan puncak di Jaya Kertas sekarang ini.