Orang-orang yang Revolusioner
Jumat, 22 Januari 2010 – 15:00 WIB
Memang ketakpuasan kepada pemeritahan baru yang berusia 100 hari pada 28 Januari 2010, terdengar juga. Bacalah media cetak dan elektronik. Tapi rakyat tak turut resah gelisah. Sopir angkot di berbagai kota terus saja ngebut kejar setoran. Petani kesal harga jual yang diterimanya tak setebal untung saudagar beras, tapi mereka tidak berunjukrasa ke istana negara.
Ketakpuasan terdengar. Tapi seberapa banyakkah yang simultan tergerak otomatis ikut mengepung istana negara? Jika tidak dengan fisiknya, setidaknya dengan batinnya?
Jangan-jangan gerakan ini elitis belaka. Sah saja. Betapapun demonstrasi adalah ekspresi dari demokrasi. Mereka mungkin kecewa, seperti banyak orang, tetapi solusinya tak sama. Kalangan elitis walau tak semuanya mengendaki perubahan rezim, tetapi rakyat lebih menghendaki perubahan nasib. Sama tapi tak serupa.
Perubahan itu kehendak zaman. Dia harus matang. Tak dikarbit-karbit. Orang yang memuja revolusi memang herois. Tetapi jika tidak menggejala secara sosiologis, politis, psikologis, dan oleh faktor ekonomi yang morat-marit dan meletupkan kemarahan masal, ia hanya ilusi. Fatamorgana. Ia ada di otak kecil, yang lalu padam. Senyap.***
INDONESIAKU. Sepuluh ribu mahasiswa akan berderap langkah bergerak mengepung istana dan meminta Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono mundur
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi