Ortu Siswa Tolak Imunisasi MR dengan Beberapa Alasan
jpnn.com, BALIKPAPAN - Imunisasi MR (Measles dan Rubella) di Balikpapan, Kaltim, masih diwarnai penolakan. Rabu (1/8), dari 892 pelajar MTs 1 Balikpapan, terdapat 13 orangtua siswa yang menolak anaknya divaksin. Alasannya, salah satunya karena vaksin MR belum mendapatkan sertifikasi halal dari MUI.
Diketahui, imunisasi serentak dilakukan di 45 sekolah di Balikpapan selama Agustus. Hal ini sebagai pencegahan merebaknya virus campak Jerman yang mulai masuk ke Indonesia. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota (DKK) Balikpapan , Esther Vonny mengatakan, orangtua yang tak setuju dimediasi lagi dan diberikan pemahaman.
“Kami bersama-sama dengan tim Kemenag akan menyosialisasikan ini kepada wali murid agar mau untuk divaksin anaknya,” kata Vonny.
Sementara itu, 13 orangtua siswa yang menolak tadi dimediasi di ruang pertemuan sekolah. Usai mediasi, seorang orangtua murid, Mahmud Yunus mengaku, belum mau anaknya divaksin MR karena trauma. Anak pertamanya yang saat itu sedang mengandung menderita penyakit kulit usai divaksin. Meskipun bukanlah vaksin MR.
“Saya sudah trauma anak saya yang pertama itu baru mau punya anak, muncul bercak-bercak badannya. Enggak bisa digaruk dengan tangan, harus pakai sikat cuci. Menantu saya pukul 3 pagi harus bangun sikatin badannya. Tapi, alhamdulillah pas lahir enggak apa-apa,” terangnya.
Sementara itu, Kepala MTs 1 Balikpapan, Abdul Gafur mengatakan, pihaknya mau tak mau melaksanakan program vaksin MR ini lantaran instruksi dari pemerintah kota. Meskipun memang diakuinya masih ada pro dan kontra.
“Sekolah kan di bawah naungan pemerintah ya, kami mendukung program pemerintah. Sebelum pelaksanaan ini, kami memberikan surat pemberitahuan kepada orangtua, bahwa imunisasi MR akan dilakukan 1 Agustus,” jelasnya seperti diberitakan Kaltim Post (Jawa Pos Group).
Meski ada yang menolak, Gafur mengatakan, tidak bisa memaksakan orangtua siswa, lantaran merupakan hak mereka. Pihaknya sebatas pelaksana dan pembimbing siswa di sekolah. Mereka yang menolak, diminta untuk membuat surat pernyataan.