Padam di Ternate, Damai di Tobelo, Bersaing di Ambon

Padam di Ternate, Damai di Tobelo, Bersaing di Ambon
Padam di Ternate, Damai di Tobelo, Bersaing di Ambon
Namun, kalau mereka berpendapat janji tersebut saya ucapkan sebagai direktur utama PLN, semestinya janji itu adalah juga janji seluruh warga PLN. Terutama para pimpinan di semua jenjang. "Kalau prinsip ini tidak bisa diterima," kata saya dalam forum itu, "Maka konsekuensinya hanya dua: saya yang berhenti sebagai direktur utama atau pemilik pendapat tersebut yang harus berhenti dari PLN."

Tentu saya tidak memperpanjang masalah itu menjadi sebuah perdebatan yang tidak produktif. Saya pun tahu karyawan yang menagih janji saya tersebut pada dasarnya hanya main karambol: mungkin dia hanya ingin mengkritik secara tidak langsung rekan-rekannya di bagian pemeliharaan mesin.

Memang, sebenarnya sama sekali tidak perlu ada pemadaman bergilir lagi. Pembangkitnya sudah sangat cukup. Hanya kebetulan salah satu mesin di situ rusak. Masalahnya: mengapa perbaikan mesin itu lamaaa... sekali. Sampai-sampai, ketika ada mesin lain yang menyusul rusak, yang rusak pertama itu belum selesai diperbaiki. Padahal rusaknya tidak berat. Padahal kalau hanya satu mesin yang rusak tidak perlu ada pemadaman bergilir. Sebab, dua mesin diesel tersebut masing-masing berkapasitas 3 MW. Jadi, kalau satu saja berhasil diperbaiki, Ternate sudah kembali kelebihan 2 MW. Apalagi kalau dua-duanya berhasil diperbaiki.

Kesimpulannya: ini bukan kasus kekurangan listrik. Tapi kasus kekurangan kepedulian. Juga, kasus betapa masih berbelitnya birokrasi pengadaan suku cadang. Rupanya, kasus seperti ini pula yang terjadi di Bima, NTB. Juga di Lombok. Minimnya kepedulian memang menjadi persoalan besar di negeri ini.

BERANGKAT melakukan perjalanan ke Ternate, Tidore, Halmahera, Morotai, Ambon, dan Poso minggu lalu, perasaan saya kurang enak. Di Ternate, menurut

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News