Padam di Ternate, Damai di Tobelo, Bersaing di Ambon
Sabtu, 18 Desember 2010 – 06:47 WIB
Karena itu, saya tidak setuju dengan rencana sewa mesin untuk mengatasi kekurangan listrik di Ternate. Kalau semua kekurangan listrik diselesaikan dengan sewa mesin, betapa manjanya PLN ini. Kalau sedikit-sedikit kekurangan listrik diselesaikan dengan sewa mesin, tidak mustahil manajemen PLN hanya akan pintar melakukan transaksi. Tidak pintar lagi melakukan pekerjaan engineering. Ini perlu saya singgung karena saya masih melihat kecenderungan bermanja-manja seperti ini. Misalnya, di Manokwari. Saya juga melihat ada enam unit mesin PLN yang dibiarkan rusak. Listrik di Manokwari lebih mengandalkan sewa.
Memang ada kalanya mesin PLN sendiri sudah tidak efisien. Ada kalanya menyewa mesin lebih murah daripada menghidupkan mesin sendiri yang sudah tua. Saya memahami itu. Karena itu, saya juga setuju, dua di antara empat mesin yang rusak di Ternate tidak perlu diperbaiki. Tapi, saya percaya bahwa yang dua lagi masih baik.
Dalam hal seperti ini, saya akan selalu ingat kasus Palu. Mesin-mesin diesel milik PLN sendiri di Palu yang dulunya hanya mampu menghasilkan listrik 9 MW kini bisa menghasilkan listrik 29 MW! Hanya dengan modal kepedulian. Model ini yang bisa jadi cermin untuk banyak daerah lainnya.
Maka, malam itu juga kami rapat sambil duduk di lantai di ruang kontrol PLTD Ternate. Diputuskanlah tata cara baru dalam memperpendek proses keputusan pengadaan suku cadang. Saya senang bahwa GM Maluku dan Maluku Utara bisa meluruskan benang kusut proses pengadaan suku cadang yang ruwet itu. Saya juga senang Murtaqi Syamsuddin, direktur PLN yang menyertai saya, bisa mencarikan solusi prosedur baru pengadaan suku cadang yang lebih sederhana tapi tetap akuntabel.