Padam di Ternate, Damai di Tobelo, Bersaing di Ambon
Sabtu, 18 Desember 2010 – 06:47 WIB
Di banyak kasus, PLN memang masih memerlukan sewa mesin. Mesin-mesin sewa di berbagai daerah itu, selain bisa ikut mengatasi krisis listrik, sebenarnya juga bisa memberikan pelajaran berharga. Mengapa mesin-mesin sewa itu selalu lancar, sedangkan milik PLN tidak. Perbedaan tersebut begitu terlihat karena mesin-mesin sewa itu biasanya berada dalam satu lokasi dengan mesin-mesin PLN. Malam itu juga diputuskan bahwa apa yang terjadi di mesin sewa harus bisa terjadi di mesin PLN sendiri. Tidak ada faktor yang bisa membedakannya: operatornya sama-sama makan nasi! Lain halnya kalau operator mesin sewa makan keju sedangkan operator PLN makan singkong.
Lepas dari itu, keperluan listrik Kota Ternate memang meningkat tajam. Itu terjadi karena Ternate berkembang pesat. Saya sudah tidak kenal lagi Kota Ternate lama yang pernah saya kunjungi 15 tahunan yang lalu. Kotanya kini sudah lebih teratur, bersih, dan terasa menggeliat.
Ada mal, hotel bintang lima, dan wilayah pengembangan baru hasil reklamasi di pinggir pantai. Di sini dibangun masjid yang indah yang kalau dilihat dari laut seperti mengambang di air. Mirip masjid di Jeddah atau di Kota Melaka, Malaysia. PLN ketinggalan langkah di mana-mana. Karena itu, PLN harus mengejarnya dengan sungguh-sungguh. Kalau tidak, PLN yang seharusnya menjadi lokomotif pembangunan ekonomi di suatu daerah justru akan menjadi penghambat.
Mengunjungi kota-kota kecil di Indonesia Timur menimbulkan kesan bahwa kota-kota di sana berkembang pesat. Ada geliat baru. Ada gairah baru. Ini agak berbeda dengan kalau kita berkunjung ke kota-kota sekitar Danau Toba seperti Tarutung, Balige, dan Porsea. Karena itu, saya pernah mengusulkan satu terobosan untuk menjual Danau Toba lebih taktis dengan cara memperbesar Bandara Silangit. Saya tidak melihat cara lain untuk memakmurkan wilayah itu kecuali mendorong maju bandara di dekat Danau Toba tersebut.