Pajak dan Demokrasi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Pajak dan Demokrasi
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Foto: Ricardo

Situasi menjadi tambah runyam karena ayah David, Jonathan Latumahina ternyata menjadi pengurus Gerakan Pemuda (GP) Ansor pimpinan Yaqut Cholil Qoumas. David Latumahina diketahui telah menjadi seorang mualaf.

Gus Yaqut yang juga menjabat sebagai menteri agama menjenguk David dan mengunggah di akun media sosialnya dengan mengatakan 'anak kader saya adalah anak saya juga, catat itu'. Ada nada kesal. Kasus ini makin panas.

Sri Mulyani bertindak cepat dengan mencopot Rafael dari jabatan dan tugasnya. Dia minta Rafael diperiksa secara teliti agar bisa diberikan hukuman sesuai tindakan disiplin yang telah dilakukan.

Kasus Rafael menjadi aib bagi Sri Mulyani yang selama ini getol menguber-uber para wajib pajak, tetapi ternyata, di depan hidung Sri Mulyani sendiri anak buahnya menggelapkan kekayaan.

Skandal pajak yang paling ramai menjadi perbincangan publik adalah skandal yang melibatkan petugas pajak Gayus Tambunan pada 2010.

Gayus yang merupakan mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu menjadi sorotan karena nilai rekeningnya yang fantastis, yakni mencapai Rp 28 miliar. Padahal pangkatnya saat itu masih golongan IIIA.

Dengan status itu, gaji yang dia terima dari Kementerian Keuangan seharusnya hanya sekitar Rp 12,1 juta setiap bulan atau Rp 145,2 juta setahun.

Ternyata, Gayus bisa mendapat insentif hingga Rp 100 miliar atau, jika dihitung dengan gajinya terakhir sebagai pegawai negeri sipil, setara dengan gajinya selama 688,7 tahun.

Pepatah Inggris mengatakan, ada dua hal yang tidak bisa dihindari dalam hidup: mati dan pajak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News