Pajaki Alat Berat, Pemda Dinilai Ngawur
Rabu, 15 Februari 2012 – 22:02 WIB
Dalam Prioritas Pembangunan Infrastruktur dan Energi 2012, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat kebutuhan infrastruktur sebesar Rp1,423 triliun. Sedangkan kemampuan pemerintah hanya Rp451 triliun atau 31% saja. Ada gap sebesar Rp978 triliun atau 69% yang diharapkan dapat didanai melalui investasi pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta (KPS), privatisasi, corporate social responsibility (CSR), dan partisipasi masyarakat.
“Ketika ada kebijakan suatu biaya pajak alat berat naik, maka risiko biaya konstruksi naik, ketika biaya konstruksi naik dan kontraktor tidak mau ambil risiko, maka biaya itu terutama ditanggung investor. Kalau memang investor mau, tidak masalah, tapi kalau tidak mau, maka ujung-ujungnya akan dikembalikan ke pemerintah,” urai Hadjar.
Berdasarkan hitungan umum struktur biaya jasa kontraktor, jelas Hadjar, laba bersih dari sebuah proyek hanya sebesar 2,5%. Asumsinya, nilai kontrak 100% dikurangi biaya produksi proyek 90%, sehingga diperoleh laba kotor 10%. Dari laba kotor itu akan dikurangi lagi dengan PPh Jasa Konstruksi sebesar 3%, overhead perusahaan 2,5%, dan bunga bank 2%.
“Sehingga laba bersih yang tersisa hanya 2,5%. Kalau alat berat itu dikenakan pajak, logikanya menaikkan biaya konstruksi. Kalau saya tahu rugi, untuk apa saya jadi kontraktor,” tandasnya. (sam/jpnn)
JAKARTA --- Alat berat sebagai alat bantu pekerjaan di berbagai sektor, sekalipun menggunakan roda dan motor dalam operasinya, hanya berfungsi sebagai
BERITA TERKAIT
- Grup RS Siloam Punya Dewan Komisaris dan Direksi Baru
- Mantap! Epson Borong Penghargaan di Ajang Good Design Awards 2024
- Menjelang Munas DEKOPIN, Siapa yang Layak Memimpin?
- Perluas Layanan, ACC Buka Kantor Cabang Syariah di Gorontalo
- BTN Gelar Ajang Kompetisi Housingpreneur, Total Hadiah Rp 1 Miliar
- Catat, Ini Soft Skill Utama Agar Siap Bersaing di Era Digital