Pak Bill dan Jokowi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Pak Bill dan Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

Pada kalimat pembuka, Pak Bill menulis, ‘’Ada kesepakatan luas bahwa demokrasi sedang merosot. Demokrasi liberal berubah menjadi demokrasi illiberal atau demokrasi elektoral, sementara demokrasi elektoral tergelincir menuju autokrasi, dan autokrasi menjadi makin dalam menjadi otoritarian. Pelaku utamanya adalah para elite politik yang justru dipilih secara demokratis’’.

Kalimat pembuka ini tajam dan tanpa ‘’tedeng aling-aling’’, tetapi netral dan tidak mengadili, karena tidak menyebutkan siapa dan di mana. Tidak disebutkan apakah atribusi negatif itu terjadi di Indonesia atau Uganda.

Namun, di alinea kedua Pak Bill sudah langsung menukik, menyebut Indonesia sebagai salah satu contoh negara yang sedang mengalami kemerosotan demokrasi. Selama tujuh tahun memimpin Indonesia, Jokowi secara sengaja mengekang kebebasan sipil (civil liberty) dan melemahkan mekanisme ‘’checks and balances’’ di parlemen, sambil mengeklaim dia melindungi demokrasi elektoral.

Bahkan, klaimnya bahwa dia melindungi demokrasi elektoral menunjukkan bukti sebaliknya, karena demokrasi elektoral pun sedang mengalami ketergelinciran. Fenomena itu bisa ditelusuri sejak Jokowi memenangi pilpres pertama melawan Prabowo Subianto pada 2014 dengan kemenangan 53 persen.

Sejak itu, Jokowi sudah terlihat lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan membangun berbagai sarana infrastruktur di seluruh Indonesia. Jokowi berkeyakinan bahwa pembangunan ekonomi yang mantap akan menjadi fondasi yang kokoh bagi demokrasi yang sehat.

karena itu, Jokowi meminggirkan demokrasi dan membiarkannya menunggu sampai pembangunan ekonomi yang modern selesai. Dari situ baru demokrasi diyakini akan tumbuh kuat. Peminggiran demokrasi dan prioritasi ekonomi ini menghadapi risiko, terutama karena makin luasnya polarisasi beragama dan munculnya ancaman pandemi sejak awal 2020.

Para pendukung demokrasi di Indonesia sekarang dihadapkan pada pilihan yang sulit antara prioritas ekonomi atau demokrasi. Haruskah mereka menerima kondisi demokrasi yang tertekan demi pembangunan ekonomi, padahal dalam kenyataannya Jokowi melakukan kerusakan yang lebih besar terhadap demokrasi.

Pertanyaan yang dihadapi oleh para pendukung demokrasi adalah, apakah Jokowi bisa mewujudkan janjinya dalam waktu yang sudah makin memburu ini. Menurut Pak Bill, kalau Jokowi ternyata salah dengan strateginya maka institusi demokrasi di Indonesia tidak akan bisa bertahan.

Muncul artikel mengenai Jokowi dari seorang profesor yang tidak kalah mentereng reputasinya dibanding Mahbubani.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News