Pak Sam Walikota Idaman

Pak Sam Walikota Idaman
Pak Sam Walikota Idaman
Pusat belanja mewah itu, maaf, secara tak langsung menyuburkan individualisme dan mental konsumtif. Jika pun ada perang diskon yang menggoda, sesungguhnya harga awalnya dikatrol dulu baru diberi diskon besar. Seorang teman punya cerita lebih seru. Tak mau menyebut nama plasanya, tapi ia tahu persis bahkan pernah berurusan dengan polisi. Letaknya di pinggiran kota. Ia prihatin sering Om-Om “berburu” Anak Baru Gede alias ABG yang masih duduk di SMU. Biasalah. Karena pengaruh budaya konsumtif, para ABG itu ingin berbaju cantik atau punya HP keluaran terbaru, tapi tak punya duit.

Nah, inilah yang menjadi “mangsa” para Om itu. Ada yang kemudian kehilangan virginitasnya di sebuah hotel. Kawan saya itu tahu karena rupanya lagi sedang transaksi itu, seorang polisi mendengarnya sehingga di boyong ke kantor polisi.

JEMPUT BOLA

Pelayanan Pemda itulah yang selalu di hati masyarakat. Pos Yandu misalnya kini hanya sekedar tempat imunisasi massal. Mestinya juga untuk pelayanan gizi balita, reproduksi kaum ibu bahkan bisa menjadi forum penampung kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Mungkin karena gratis, kini fungsinya merosot. Sangat menjengkelkan. Kalau gratis mengapa pelayanannya buruk? Padahal, sebetulnya tidak gratis. Tapi disubsidi pemerintah. Jika pun rakyat tak membayar, sebetulnya telah dibayar melalui APBN atau APBD karena disubsidi. Istilah gratis itu menyesatkan.

Lelaki separo baya itu saban hari mengitari sejumlah rumah di kawasan rumah warga tempatku tinggal di Medan, Sumatera Utara. Setiap Pak Sam lewat,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News