Pakar Hukum: Pulau Rempang Kawasan Hutan, Bukan Tanah Adat

Pakar Hukum: Pulau Rempang Kawasan Hutan, Bukan Tanah Adat
Hunian baru untuk masyarakat yang terdampak relokasi dalam pengembangan Rempang Eco City. Ilustrasi Foto: Humas Kementerian PUPR

Terpisah, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menduga ada tumpang tindih terkait dengan kepemilikan lahan sehingga mengakibatkan konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Agus pun meminta Kementerian ATR/BPN bisa memperbaiki data terkait dengan kepemilikan lahan di Pulau Rempang yang diduga ada tumpang tindih.

"Saya curiga setelah adanya rencana pengembangan Pulau Rempang di tahun 2000 an, kemudian banyak yang mencari tanah disana dan dikasih surat sehingga kepemilikannya pun tumpang tindih. Nah ini yang harus dirapikan oleh pihak ATR/BPN," kata Agus.

Ia mengatakan bahwa perencanaan adanya proyek di Pulau Rempang memang sudah sejak lama sekitar Tahun 2000-an.

Namun, proyek tersebut tak kunjung digarap dan lahan pun dibiarkan begitu saja, sehingga dijadikan tempat pemukiman masyarakat.

"Tapi perlu kita ketahui, di Indonesia mayoritas itu kepemilikan tanahnya itu kurang jelas, karena dari awal dulu surat menyurat itu mereka ngga punya, karena itu tanah negara, tapi sudah digarap ditinggali puluhan tahun begitu," kata dia.

Bahkan, Agus menyebut bahwa secara legal, tak ada peraturan yang mengharuskan pemerintah melakukan ganti rugi terhadap tanah milik negara yang ditinggali masyarakat.

"Karena dalam peraturan kalau tanah milik negara kayak HGB dan sebagainya kalau diminta negara ya harus pergi," katanya.

Pakar hukum pertanahan Dr. Ir. Tjahjo Arianto S.H., MHum menyebut bahwa Pulau Rempang adalah hutan yang digarap oleh masyarakat penggarap dan bukan tanah adat

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News