Pakar Nilai KUHAP Mengotak-ngotakkan Penegak Hukum, Harus Direvisi

Pakar Nilai KUHAP Mengotak-ngotakkan Penegak Hukum, Harus Direvisi
Pakar Hukum Pidana Suparji Ahmad. Foto: Dok for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum Suparji Ahmad, menilai, dengan konsep KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) yang menganut prinsip deferensial fungsional, setelah, 43 tahun berlaku, baru terasa saat ini bahwa aparat penegak hukum (APH) itu terkotak-kotak dalam kinerjanya.

Hal itu, kata Suparji, tidak mencerminkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) yang diharapkan. Akibatnya tidak tercapai apa yang diharapkan karena terganggunya sinkronisasi dan harmonisasi kinerja APH.

“Contohnya, dan ini hanya contoh teoris saja, apabila terjadi rekayasa berkas perkara dalam proses penyidikan, maka jaksa tidak bakal tahu karena menurut KUHAP, jaksa hanya membaca apa yang ada di berkas perkara. Seandainya itu benar-benar terjadi maka yang dirugikan adalah para pencari keadilan,” ungkap Suparji, Rabu (12/2).

Menurut Suparji, sebenarnya kejaksaan tidak akan pernah memperluas kewenangan atau bahkan mengambil kewenangan lembaga lain.

Namun, hal yang harus didorong adalah perubahan paradigma dalam mekanisme kerja antara penyidik dan jaksa.

“Jika dulunya antara penyidik dan jaksa bekerja secara terpisah, menjadi penyidik dan jaksa bekerja bersama-sama dalam menegakkan hukum pidana,” jelasnya.

Kondisi kerja yang kolaboratif antara penyidik dan jaksa inilah yang menurut Suparji, harus diatur secara jelas dalam KUHAP mendatang.

Menurutnya, penyidik dan jaksa adalah lembaga yang ada dalam satu rumpun eksekutif. Sehingga organ kelengkapan di dalamnya tidak boleh terkotak-kotak.

Kondisi kerja yang kolaboratif antara penyidik dan jaksa inilah yang menurut Suparji, harus diatur secara jelas dalam KUHAP mendatang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News