Pakar Tata Negara Sebut KPK Jadi Tirani Baru

Pakar Tata Negara Sebut KPK Jadi Tirani Baru
Margarito Kamis. Foto: dokumen JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Pengamat hukum tata negara Margarito Kamis menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya merupakan kepanjangan tangan dari presiden sebagai kepala negara. Sebab, presiden memang mendapat tugas konstitusi untuk menegakkan hukum.

Margarito mengatakan, tugas presiden untuk menegakkan hukum itu secara teknis dilaksanakan oleh kejaksaan dan kepolisian. Yang jadi persoalan adalah ketika presiden tidak bisa mengendalikan KPK.

"Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai penegak hukum, berarti itu kekuasaan presiden yang didelegasikan kepada KPK. Masalahnya sekarang, kenapa KPK tak bisa dipegang oleh presiden?” kata Margarito dalam diskusi bertema "Quo Vadis UU KPK" di DPD RI, kompleks parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (17/2).

Margarito lantas membandingkan KPK dengan Bank Indonesia (BI). Menurutnya, meski konstitusi menempatkan BI sebagai lembaga independen, namun presiden tetap dimungkinkan memasukinya.

“UUD 45 menjamin independensi BI. Tapi untuk hal-hal tertentu bisa dimasuki presiden. Sementara KPK yang pelaksana teknis penegak hukum kenapa tidak bisa didekati Presiden. Kacau negeri ini jadinya," tegasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, presiden membagi-bagi kekuasaannya justru untuk menghindari tirani. Anehnya, kata Margarito, KPK justru tak mau diawasi.

”Bagaimana ceritanya, di negara demokratis tapi ada lembaga negara yang tak mau diawasi? Bagaimana mau demokratis berdasarkan hukum kalau ada lembaga negara yang menolak dikontrol. Ini tirani baru," ujarnya.

Margarito mengakui bahwa KPK memang diperlukan. Namun, lanjutnya, harus jujur diakui bahwa keberadaan KPK tak otomatis membuat korupsi lantas sirna.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News