PALU

PALU
Dahlan Iskan di sebuah gym di Los Angeles, Amerika Serikat. Foto: disway

Saya coba lewat jaringan keluarga. Adik menantu saya kawin dengan orang Palu. Ia sendiri tidak berhasil menghubungi sang istri. Dan anaknya. Padahal ia lagi kerja di Banjarmasin.

Hatinya terus gundah. Ia putuskan ke Palu. Lewat Makassar. Kini masih dalan perjalanan darat. Bisa 12 jam.

Ketika pertama disebut: tsunami terjadi di Donggala. Saya tidak khawatir. Donggala itu dataran tinggi. Paling hanya bagian-bagian kecil pantai yang terkena.

Tapi begitu disebut Palu saya ingat: wilayah padat penduduknya berupa dataran rendah. Dekat pantai. Terutama di sekitar muara sungai Mutiara.

Tapi saya juga belum terlalu khawatir. Kawasan muara sungai itu jauh dari laut lepas. Pantainya berada di ujung paling jauh sebuah teluk. Teluk Palu. Teluk yang sangat panjang. Bagian padat penduduk itu benar-benar jauh dari laut terbuka. Terlindung gunung Donggala.

Teluk ini begitu panjangnya. Sering jadi petunjuk arah pendaratan pesawat. Landasan bandara Palu memang searah dengan teluk Palu.

Saya tidak menyangka yang meninggal begitu banyaknya: lebih seribu orang. Data Senin pagi mencapai 1.100 orang. Innalillahi wainnailaihi rajiun.

Mungkinkah itu karena tsunami terjadi di senja hari? Ketika pantai di teluk itu lagi ramai?

Sebagai pemilik hotel, fokus Danny mengerahkan alat berat. Ia sendiri sedang di Surabaya saat gempa. Meski lahir di Palu, Danny sudah tinggal di Surabaya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News