Pancasila dan Ancaman Amplifikasi Hoaks
Pagi hari tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Selain itu, peserta dalam rapat pleno juga mengusulkan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dalam sila ke-2 Pancasila yang diusung Ki Bagus Hadikusumo. Rapat pleno PPKI pun membuahkan hasil berupa rumusan dasar negara. Hasil tersebut merupakan rumusan resmi kedua yang kemudian dikenal sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan dipakai hingga saat ini.
Dalam paragraf keempat UUD 1945, unsur-unsur Pancasila sebagaimana rumusan hasil pleno PPKI turut dimasukkan. Rumusan tersebut bisa dilihat dalam lampiran TAP MPR Nomor: II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Rumusan yang dimaksud adalah, “… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pancasila di Tengah Ancaman
Di tengah diskursus tentang Pancasila dan berbagai gerakan “Kita Bhinneka Kita Indonesia,” berbagai praktik intoleransi terus bermunculan. Pengeboman gereja di beberapa daerah, penyerangan terhadap ulama oleh oknum tak dikenal, serta kekacauan dalam ruang publik virtual pasca-Pilpres 2019 yang terus memanas kian mengancam eksistensi Pancasila sebagai dasar negara.
Selain itu, amplifikasi hoaks penembakan terhadap massa aksi 21 dan 22 Mei oleh oknum polisi yang disebarkan oleh akun-akun anonim, tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif oleh lembaga penyelenggara Pemilu yang tidak bisa dibuktikan, serta desakan referendum Aceh dan Sumatera Barat karena tidak menerima kemenangan Jokowi-Amin pada Pilpres 2019 menunjukkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika yang dibanggakan bangsa Indonesia sejak beberapa dekade lalu serasa makin jauh panggang dari api.
Lebih lagi, kerusuhan dalam demonstrasi 21 dan 22 Mei di beberapa titik seperti Sarinah, Tanah Abang, dan Pluit, serta ancaman pembunuhan terhadap beberapa tokoh nasional membuat persatuan dalam pluriformitas bangsa yang dijaga pada awal kemerdekaan akhirnya digadaikan oleh pragmatisme politik Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila terkesan hanya menjadi slogan tanpa implementasi.
Hemat saya, pemaknaan terhadap Pancasila perlu mendekonstruksi secara kontekstual untuk melawan berbagai paham dan praktik radikalisme, liberalisme radikal, dan intoleransi yang terjadi selama ini. Maka daripada itu, memahami Pancasila dan menafsirkan Pancasila sesuai konteks kekinian adalah hal yang harus dilakukan. Hemat saya, beberapa tafsiran Pancasila yang perlu diperhatikan dan diamplifikasi antara lain:
Pemerintah melalui Badan Pembinaan Ideologi Pancasila perlu bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan untuk merumuskan indikator-indikator Pancasila sebagai bahan ajar di Sekolah-sekolah mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
- Kumpul Bareng Komunitas Tionghoa di PIK, Ridwan Kamil Gaungkan Toleransi
- Ahmad Muzani Ungkap Cerita Prabowo Terbitkan PP 47 Hapus Utang Rakyat: Amanat Pancasila
- Presiden Prabowo dan Tantangan Aktualisasi Pancasila
- Kemanusiaan yang Adil dan Beradab jadi Landasan Egi-Syaiful Membangun Lamsel
- Hari Kesaktian Pancasila, dari Beleid Menteri Panglima Angkatan Darat ke Keputusan Pejabat Presiden
- Hari Kesaktian Pancasila, Momentum Penghormatan Kepada Pahlawan