Pandangan RRT Terhadap Resolusi Sengketa di Laut Tiongkok Selatan dan PKG

Oleh Odemus Bei Witono - Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara

Pandangan RRT Terhadap Resolusi Sengketa di Laut Tiongkok Selatan dan PKG
Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara Odemus Bei Witono. Foto: Dokumentasi pribadi

RRT menganggap bahwa secara umum perjanjian internasional/hukum internasional oleh RRT dianggap sebagai produk politik, jadi tidak sakral dan selalu dapat di-renegosiasi.

Akibatnya, meskipun menjadi anggota UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) dan telah meratifikasi Konvensi tersebut pada tahun 1996, Tiongkok dalam perkembangan selanjutnya melakukan pelanggaran terhadap perjanjian internasional tersebut.

Klaim Tiongkok atas sejumlah kepulauan dan wilayah laut di LTS didasarkan pada hak-hak historis, administrasi berkelanjutan, dan pengakuan sepihak. Namun, beberapa alasan klaim "hak bersejarah" Tiongkok sebenarnya meragukan, karena adanya inkonsistensi dalam peta klaim, ketidakmampuan memenuhi persyaratan hukum internasional yang diakui secara luas, serta kendali konsisten yang kurang terhadap wilayah yang diklaim.

Meskipun ada dasar sejarah yang mendukung menurut Raditio (2019:64) klaim Tiongkok, perilaku dan klaim pemerintah RRT di wilayah tersebut bersifat sporadis dan tidak konsisten, menunjukkan bahwa Tiongkok bukan negara ekspansionis yang mencoba memaksimalkan kekuasaan melalui penaklukan.

Dalam perbandingan dengan Jerman Nazi, yang melakukan penaklukan tanpa dasar sejarah atau hukum yang kuat, Tiongkok, sebaliknya, memiliki sejarah kuat di LTS dan mewarisi klaim teritorial dari rezim sebelumnya, sehingga tidak dapat dianggap sebagai negara ekspansionis.

Penting untuk dicatat bahwa menurut Raditio (2019:59) konsep "hak bersejarah" dalam hukum internasional itu ambigu dan diatur oleh UNCLOS. Akan tetapi perlu diingat bahwa “hak bersejarah” tidak dapat dipakai untuk membenarkan klaim RRT di LTS.

Hukum internasional mengharuskan persetujuan negara-negara asing terkait klaim hak bersejarah, dan beberapa negara, seperti Vietnam, telah memprotes klaim Tiongkok tersebut. Selain itu, pengadilan internasional telah menyatakan bahwa klaim hak bersejarah Tiongkok di LTS tidak sah dan melanggar hukum berdasarkan UNCLOS.

Tanggapan Tiongkok terhadap keputusan ini akan menentukan apakah perilakunya di LTS akan bersifat defensif atau ofensif di masa depan. Meskipun ada tanda-tanda penyesuaian setelah keputusan tersebut, hal ini memberikan harapan bahwa Tiongkok akan mematuhi hukum internasional dalam tindakan masa depan di LTS. Dan, tampaknya dalam realitas, RRT mengedepankan solusi politik (konsultasi, negosiasi) dengan negara-negara terkait.

Pandangan RRT terhadap resolusi sengketa di Laut Tiongkok Selatan (LTS) tidak lepas dari proses sejarah bagaimana Tiongkok memandang laut tersebut.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News