Panitia Adhoc MPR dan Aspirasi Suara Masyarakat

Oleh: Agus Widjajanto - Pemerhati sosial budaya, politik dan hukum, tinggal di Jakarta

Panitia Adhoc MPR dan Aspirasi Suara Masyarakat
Pemerhati sosial budaya, politik dan hukum, tinggal di Jakarta Agus Widjajanto. Foto: Dokumentasi pribadi

Masalah paling krusial saat ini adalah menyangkut sistem perwakilan, yakni representasi dari penjelmaan rakyat dimana suara rakyat adalah kekuasaan tertinggi dari sebuah negara (Vox Populi Vox Dei ) bahwa suara rakyat adalah bagaikan suara Tuhan.

Seperti kita ketahui bersama pasca amendemen UUD 1945 yang telah dilakukan hingga ke empat kali telah mengubah sistem ketatanegaraan negara kita dari sistem perwakilan kepada sistem liberal.

Dalam amandemen tersebut telah direduksi (mengurangi kewenangan) secara signifikan, dimana penjelmaan dari rakyat melalui sebuah lembaga yang bernama MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) tidak lagi diberikan kewenangan untuk menetapkan GBHN dan memilih presiden serta wakil presiden.

Bahwa kewenangan MPR versi amendemen hanya mempunyai kewenangan:

1. Mengubah dan menetapkan UUD

2. Melantik presiden dan wakil presiden .

3. Memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatan nya menurut UUD.

Dengan demikian, MPR hanyalah sebuah lembaga seperti halnya macan ompong dalam kandang. Semua kita tahu untuk mengubah UUD dan menetapkan UUD harus ada kemauan politik dari para elite politik, tidak hanya di dalam eksekutif dan legislatif akan tetapi juga ada dorongan dari para tokoh-tokoh nasional di luar kekuasaan. Itupun harus melalui amendemen.

Wewenang dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) telah direduksi atau dipangkas saat terjadi amendemen UUD 1945 hingga ke empat kali.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News